Novel Sejarah
TERMARGINALKAN
Novel sejarah ialah sebuah novel
yang ceritanya diletakkan pada masa lampau dan bertujuan untuk
menghidupkan keadaan-keadaan yang wujud pada masa lepas. Banyak novel
sejarah memasukkan watak-watak bersejarah sebagai watak utama atau kecil
ke dalamnya
Novel
sejarah juga dapat diartikan sebagai novel yang di dalamnya menjelaskan dan menceritakan tentang
fakta kejadian masa lalu yang menjadi asal-muasal atau latar belakang
terjadinya sesuatu yang memiliki nilai kesejarahan, bisa bersifat naratif atau
deskriptif, dan disajikan dengan daya khayal pengetahuan yang luas dari
pengarang.
Contoh Novel Sejarah
Contoh Novel Sejarah
Novel ini berlatarkan pada Masa Reformasi 1998, sudut pandang yang diambil penulis adalah dari sisi korban Reformasi yaitu berasal dari orang Tionghoa yang saat itu tinggal di Indonesia. Novel ini menceritakan peristiwa di balik Reformasi 1998 dimana selain demonstrasi mahasisiwa yang memakan korban di lain sisi terdapat cerita kelam yang menimpa masyarakat Tionghoa. Tionghoa yang tidak tahu menahu tentang permasalhan ini menjadi tumbal Reformasi. Cerita ini menekankan bahwa pada saat reformasi, terjadi pendiskriminasian terhadap Tionghoa khususnya wanita Tionghoa.
TERMARGINALKAN
BAB
1 : KEJUTAN DI BULAN MEI
Pagi yang cerah tak secerah suasana di Jakarta,
begitu kacau. Mobil-mobil dibakar toko-toko dihancurkan, suara tangis, dan
dentuman barang-barang yang pecah seakan jadi lagu pengiring dalam kerusuhan
ini. Berawal dari krisis tak berkesudahan hingga naiknya harga bahan-bahan
pokok seperti tak tersentuh di kalangan duafa. Belum lagi bumbu-bumbu yang
dimasukkan agar kerusuhan ini semakin panas dan membara.
Nampak orang-orang berotot sedang sibuk
membuang-buang peralatan dagang Koh Liong, Ada seorang yang menghancurkan
televisi dan perabot elektronik lainnya. Ada pula yang sibuk memberantakkan
roti-roti dan sembako yang Koh Liong jual. Di ujung sana, di pinggir jalan Koh
Liong beserta istri dan anaknya menangis meratapi kejadian yang tidak pernah ia
bayangkan. Luka di kaki dan tangan tak begitu ia hiraukan tapi luka di hati
begitu menyesakkan. Melihat tokonya rusak parah, mobilnya, dan rumahnya yang
hangus menambah sarat penderitaan yang ia rasakan. Begitu kejam dan bengis
mereka menghancurkan apa yang ada seakan tak ada hari esok, membunuh, dan membakar
seakan jadi hal wajar di sini, aparat entah itu polisi pun tentara nampak
enggan terlibat, mereka malah sibuk berlindung pada mobil-mobil besi yang
mengangkut mereka ke sini.
Di ujung bandara terlihat Mei Ra membawa
satu koper penuh dan sebuah tas kecil, ia tampak sibuk membuat panggilan di
telepon, ini adalah hari kepulangannya setelah hampir lima tahun ia belajar di
Oxford University. Puluhan kali ia mencoba melakukan panggilan untuk ayahnya
agar menjemputnya tetapi selalu saja dialihkan, “benar benar papi ini” ucapnya
menggerutu dalam hati. Mei Ra nampak bingung dan gelisah, setelah hampir sejam
lamanya ia menunggu Mei Ra memutuskan untuk menaiki taksi saja, tak apa lah
bila papi, mami serta adik perempuannya Mei Ri terkejut nanti melihat
kepulangnnya salah sendiri papinya tak mengangkat teleponnya, benar-benar sok
sibuk papinya itu, sambil tertawa Mei Ra membayangkan wajah-wajah terkejut dari
keluarganya. Rindu sekali Mei Ra pada mereka, rindu pada kehangatan dan
kebersamaan mereka.
Tangan Mei Ra berayun mencoba untuk
menghentikan taksi namun nihil, hampir semua taksi yang coba ingin ia tumpangi
selalu lewat begitu saja, Mei Ra mengayunkan lagi tangannya berharap Tuhan mau
membantunya kali ini, benar saja ada satu taksi yang akhirnya berhenti, dengan
cepat ia masuk dan menyebutkan alamat rumahnya seraya mengetik pesan untuk papinya
bahwa ia tidak apa-apa, takut-takut papinya khawatir sebab Mei Ra tadi
meneleponnya hampir dua puluh kali.
Begitu selesai mengetik Mei Ra terkejut
melihat jalanan sekitar ibukota nampak sedikit semrawut, bangunan-bangunan
hancur, mobil-mobil terbakar habis, ya Tuhan apa yang sebenarnya terjadi di
kotaku ini batin Mei Ra cemas akan keadaan keluarganya. Semakin menuju arah rumahnya
kerusakan pada bangunan-bangunan dan kendaraan pribadi semakin parah bahkan ia
melihat seorang perempuan tengah digauli oleh preman-preman. Jujur saja Mei Ra takut,
ia tanpa sadar mendekap erat tasnya. Untung saja tinggal belokan depan sudah
sampai. Tapi takdir berkehendak lain lima orang preman berdiri di tengah jalan
mencoba untuk menghentikan taksi yang tengah Mei Ra naiki.
Dengan kasar preman-preman itu menggedor
dan membuka pintu, terang
saja Mei Ra takut melihat badan-badan besar yang terlihat ingin menerkam Mei Ra
hidup-hidup. Seperti melihat mangsa empuk yang sayang bila dilewatkan, preman-preman
yang tak beradab menggoda Mei Ra. Bukan hanya lewat perkataan namun juga dengan
aksi yang bringas. Pak sopir yang mengantarkan Mei Ra sudah hilang lari kalang
kabut, tinggal Mei Ra yang malang, sendiri mengahadapi lima preman. Mei Ra
meringkuk di pojok tempat duduk penumpang, nampaknya semua pintu dan jendela
telah dikunci otomatis. Mei Ra kebingungan, rasa takut menggerayangi dirinya. Mei
Ra memeluk tasnya erat seakan menutupi dirinya.
Salah
satu preman dengan sigap memegang tangan Mei Ra, memenjarakan ia dalam
kungkungan kuat preman itu, Mei Ra semakin takut, ia menjerit dengan keras. Air
mata Mei Ra keluar dengan deras ia menolak segala perlakuan yang diperbuat para
preman ini. Ia berharap dalam hati agar ada seseorang yang mendengar jeritannya
lalu menolongnya, “Tuhan bantu aku!” ratap Mei Ra dalam hati.
Nasi
sudah menjadi bubur Mei Ra yang malang sudah digarap oleh lima preman secara
bergilir di dalam mobil taksi yang ia tumpangi, rasanya ia ingin sekali mati,
ia malu. Mei Ra merasa tak pantas hidup, permata yang ia jaga selama 25 tahun
ini lenyap diambil secara paksa oleh para preman secara tak beradap. Mereka
menurunkan Mei Ra di gang pinggir jalan yang sepi. Suasana sepi mencekam hanya
lolongan anjing yang bisa Mei Ra dengar. Tangis Mei Ra pun pecah, memecah
kegemingan yang ada. Ia menangis meraung-raung. Mei Ra benci dirinya sendiri,
apa masih sanggup ia menemui keluarganya dengan keadaan sepeti ini?.
BAB 2 : Oase di gurun pasir
Mula-mula krisis besar terjadi pada
tahun 1997 di kawasan Asia Timur. Negara demi negara di kawasan asia mau tak
mau diterpanya juga. Indonesia pun tidak bisa menghindar dari krisis yang
terjadi, malahan Indonesia termasuk dari tiga negara yang mengalami krisis terparah.
Nilai rupiah yang kian turun menjauhi dollar seakan-akan membunuh masyarakat
karena harga bahan pokok melejit naik.
Kebencian masyarakat Indonesia terhadap
etnis Tionghoa sudah terbentuk sejak lama, bahkan sebelum Belanda datang ke
Indonesia. Bukan tanpa alasan, namun adanya penggolongan masyarakat yang
dibuat Belanda adalah pemicu utamanya. Empat ratus tahun yang lalu penduduk
Tionghoa yang ada di Indonesia dengan
masyarakat pribumi memiliki kedudukan yang setara yaitu sebagai rekan dagang,
namun hubungan tersebut berubah setelah datangnya VOC . Golongan etnis Tionghoa
menduduki tingkat kedua bersama para pedagang asing setelah Belanda. Golongan
Tionghoa ditempatkan secara istimewa oleh Belanda sebagai rekan bisinisnya.
Golongan ini menjadi kelompok penarik pajak bagi masyarakat pribumi yang berada
di bawahnya. Hal ini memunculkan setitik rasa benci yang kian bertambah setiap
harinya.
Krisis besar yang sedang berkecamuk
dimanfaatkan oleh oknum yang masih menyimpan dendam terhadap Tionghoa. Mereka
mulai menyebarkan rumor abu-abu yang menutup mata para pribumi. Rumor etnis
Tionghoa yang melarikan bahan pokok ke luar negeri guna ditimbun, sampai rumor etnis
Tionghoa adalah orang di balik rezim Soeharto. Stigmasisasi negatif yang
bermunculan pun menyulut kemarahan pribumi untuk berlaku diskriminatif.
Oknum-oknum pribumi mulai menjarah
toko-toko dan rumah para etnis Tionghoa, merampas dan membakar apa saja yang
ditemuinya. Tak terhindarkan pula, perempuan Tionghoa juga menjadi sasaran
keganasan pembalasan dendam. Perempuan Tionghoa diangggap pantas mendapatkan
perlakuan tersebut, karena Tionghoa dapat
dikatakan sebagai triple minority yaitu
satu, mereka minoritas, dua, mereka beragama non islam dan tiga, mereka
perempuan Tionghoa. Bukan hanya para gadis Tionghoa, namun juga wanita-wanita
Tionghoa yang sudah lanjut usia. Permasalahan tidak terletak pada umur mereka,
tapi karena mereka adalah perempuan
Tionghoa.
***
Baju
yang digunakan Mei Ra sudah tak berbentuk, compang camping. Rambutnya
berantakan, luka-luka di seluruh kulit putihnya nampak tak ia hiraukan. Mei Ra
berjalan menuju rumahnya dengan tas yang selalu ia peluk menutupi dadanya. Mei
Ra sudah seperti orang gila, menangis dan berteriak-teriak ketika ada orang
yang menanyakan keadaannya, untung saja Mei Ra masih sedikit waras dengan
mengingat jalan menuju rumahnya. Tinggal di ujung gang rumah Mei Ra berada,
setidaknya jika di dalam rumah ia akan merasa tenang dan terlindungi.
Dengan
gontai Mei Ra berjalan menyusur jalan berharap ia tidak akan diusir dari
rumahnya karena rupanya yang kini tidak beraturan. Betapa terkejutnya Mei Ra,
rasanya ia lemas, tulang di kakinya seperti melumer. Ia terduduk bersimpuh di
pinggir jalan “Cobaan apa lagi ini Tuhan” jeritnya dalam hati.
Rumah
yang ditujunya dengan harapan mendapat perlindungan sudah hangus, toko
kelontong sang ayah pun sudah hancur tak tersisa, lalu kemana semua keluarganya
pergi. Kemana papi dan maminya, kemana Mei Ri adik kesayangannya. Apalah mereka
juga mendapat perlakuan yang sama seperti yang Mei Ra terima, banyak pertanyaan
yang berkecamuk dipikiran Mei Ra.
Mei Ra
merasa frustasi, kemana ia harus mencari keluarganya. Dalam keadaan seperti ini
kemana keluarganya bersembunyi? Apakah mereka masih hidup? Dalam keadaan
seperti ini Mei Ra tak mampu berpikir lagi, ia kehilangan pikirannya. Rasanya
akalnya sudah semakin tipis. Mei Ra mengusap pipinya kasar menghilangkan
buliran air matanya yang jatuh di pipi, ia menyandarkan punggungnya didekat
pintu yabg sudah hangus, seolah olah hanya tembok inilah yang bisa menjadi
sandarannya. Semua memori tentang rumah ini berputar dalam ingatannya. Seperti
oase digurun pasir, ia mengaharapkan hal yang tidak mungkin bisa ia temui lagi.
***
“Keadaan semakin kacau, pi” ujar Mei Ri pada ayahnya yang sedang melihat
berita tentang suasana Jakarta. “Papi sudah tidak peduli lagi, yang penting
kalian aman. Uang bisa dicari tapi kesehatan dan kehangatan keluarga mahal
harganya”. Semuanya nampak bahagia dapat
berkumpul di sini, meski rumah yang kini keluarga Koh Liong tinggali cukup
sempit bahkan hanya ada satu kamar dan dapur tak layak, namun tidak begitu jadi
masalah untuk keluarga Koh Liong.
“Pi, ini sudah seminggu kita
tidak mengabari Mei Ra. Sejak demo kemarin Mami merasakan perasaan buruk pada Mei
Ra”
“Aku
sampai lupa, biarkan sajalah dulu, Mei Ra aman di Inggris. Jika kita memberi
tahu keadaan kita nanti Mei Ra malah jadi cemas. Sebentar lagi kelulusannya. Biarkan
dia fokus pada skripsinya"
Hari
sudah semakin malam Mei Ra yang malang tengah sibuk mencari pelataran toko
kosong, Mei Ra sudah mempersiapkan dua lembar kardus sebagai alas untuknya
tidur malam ini. Mei Ra memilih pelataran toko emas Cik Ling Ling sebagai
tempatnya tidur. Tidak terlalu luas namun cukuplah untuk dirinya, di sini Mei
Ra sedikit merasa aman karena ada pagar kecil di samping kanan dan kiri toko
ini. Sekarang toko ini seperti toko berhantu, tampak kosong dan gosong.
Terlihat sangat berantakan jelas sekali ini pasti ulah mereka yang mengaku
pribumi tapi tidak punya akal dan adab.
Mei Ra
bingung apa yang sebenarnya terjadi, di kepalanya berkecamuk. Banyak pertanyaan
yang mengaggu otak kecil Mei Ra. Salah satunya adalah mengapa hal ini terjadi, ada
apa dengan negara ini? Apa Soeharto tidak memerintah dengan baik? Kenapa para
polisi dan tentara hanya diam saat banyak kerusakan yang ditimbulkan, saat
banyak pelecehan, saat banyak korban berjatuhan, kemana mereka. Mengapaa Sang
Jendral besar yang kini diangkat menjadi presiden hanya diam saja, apa dia dan
aparat negara buta? Yang benar saja mereka hanya pura-pura buta dan bisu.
BAB
3 : TUMBAL REFORMASI
“Bung, hari ini kita demo di depan
universitas saja”, ujar Teto di depan basecamp mapala Universitas Trisakti.
“Jangan To, kau tahu kan jika aku takut.
Kau tidak ingat kemarin Neno hilang setelah demo?”, jawab Shakty dengan nada
takut.
“Kau jangan jadi penakut dong Ty,
mungkin saja dia sembunyi”
“Gila ya kau To, kita juga tahu To,
gimana sadisnya pemerintah menyingkirkan orang-orang yang mereka anggap jadi
masalah”, lanjut Shakty
“Kawan-kawan, aku juga tahu kalau pemerintah
itu licik. Tapi apa kau tidak ingin merubah dan melengserkan mereka yang
santai-santai di kursi Presiden tanpa mengurus rakyatnya yang kini sedang
bermasalah?” ucap Teto berapi-api.
“Saat ini kita sedang perang melawan
diri kita sendiri, kau tidak sadar? Pemimpin seperti mereka itu tidak pantas ditakuti.
Kau mau kita seperti ini terus? Egois sekali kau. Kau tidak mengertikan, bagaimana perasaan
melihat adik sendiri diperkosa di depan mata dan bunuh diri karena beban mental?
Kalian tidak akan paham bagaimana rasanya karena kalian tidak merasakannya. Aku hanya
ingin tidak ada lagi korban layaknya adikku. Aku tau kita itu minoritas tapi
bukan untuk diinjak-injak seperti ini, kita sama-sama manusia, bukan hewan.
Mereka yang bisu tidak pantas menjadi presiden”. sambungnya, terlihat nyalang
pada tatapannya.
Teto juga seorang Tionghoa, ia merasakan
sakit dan sadisnya perlakuan pribumi. Omong kosong, siapa sebenarnya yang
disebut warga negara Indonesia? Siapa orang-orang pribumi? Apa predikat warga
negara Indonesia hanya untuk pribumi? Lantas siapa pribumi itu? Hanya orang
Jawa yang licik, orang-orang Jawa yang bringas sibuk menghancurkan kaum
Tionghoa seperti Teto? Bukankah Soekarno bernah bilang bahwa Indonesia Bhinneka
Tunggal Ika lalu kenapa orang orang pribumi menghancurkan orang Tionghoa dengan
bringas padahal isu yang berkembang sangat tidak jelas dan tidak masuk akal.
Apa orang orang Jawa begitu bodoh hingga dapat termakan omongan seperti itu.
Teto tidak habis pikir.
Teto dan keluarganya juga korban atas
kerusuhan Mei 1998 ini. Ayahnya meninggal karena melindungi adiknya yang
mendapat pelecehan, kepalanya dipukul dengan balok kayu. Adiknya juga mati
bunuh diri, Trissa adiknya memotong urat nadinya sendiri didepan mata meski Teto
tahu tidak semua orang Jawa seperti mereka, tapi tetap saja Teto benci mereka.
Kini Teto hanya punya mamanya yang tinggal di kontrakkan kecil. Mengingat semua
aset yang dimiliki keluarga Teto rusak bahkan hangus terbakar termasuk
rumahnya. Padahal Papa Teto adalah pengusaha beras. Kini Teto harus membangun
semuanya dari awal, tanggung jawab mencari nafkah kini ada di punggung Teto.
Ibarat kata, Gajah sama gajah berjuang, pelanduk mati di tengah-tengah. Etnis
Tionghoa yang berada di Indonesia yang sama-sama mencari makan, kehidupan yang
aman dan tentram dijadikan korban kerusuhan. Mereka dijadikan sasaran amukan
dan pelampiasan dendam. Bukankah ini bisa disebut Tionghoa tumbal reformasi?.
***
Cahaya matahari menusuk mata Mei Ra, Mei Ra mengerjapkan matanya
berulang kali. Berharap semua yang terjadi padanya hanya mimpi dan ketika ia
terbangun ia masih berada di apartemennya di Inggris. Nihil, semua yang ia
harapkan hanya oase. Ia masih di
depan toko emas, tidur beralaskan kardus bekas air mineral botolan. Mei Ra menangis meratapi
nasibnya, terbuang, dilecehkan, tak dianggap, sampah. Mei Ra menegakkan tubuhnya,
ia mulai berjalan meninggalkan pelataran toko dan menyisir jalan tanpa alas
kaki.
Sepanjang jalan, Mei Ra menggenggam erat
pakainnya, ketika ia melewati gang-gang kecil, genggaman di pakaiannya semakin
erat. Genggaman itu menyalurkan rasa takutnya karena bayangan kejadian yang
pelecehaan yang ia terima terus berputar di kepalanya. Ia benar-benar takut
jika kejadian itu akan berulang kepadanya karena ia sedang sendiri. Tanpa
disadari langkah kaki Mei Ra telah mencapai gang Universitas Trisakti, tanpa
peduli ia melengos melewati basecamp aktivis yang nampak ramai dihuni para
laki-laki. Pikiran yang berkecamuk di kepala Mei Ra membuatnya tak sadar akan
keberadaan orang-orang disekitarnya, ia hanya berjalan lurus dengan pandangan
kosong mengarah ke depan.
Sepasang mata mengawasi langkah Mei Ra. Setengah kasian dan
jijik melihat keadaan dan penampilan Mei Ra. Tapi semua perasaan itu ditepisnya, ia
berjalan mendekati Mei Ra dengan niatan menanyakan apa yang sedang
menimpa Mei Ra
“Siapa kamu? Mengapa kamu berada di
daerah ini dengan pakaian seperti itu?”, ucap lelaki itu dengan kedua tangannya
berada di pinggang.
Mei Ra
yang tiba-tiba saja dikagetkan dengan teguran seorang laki-laki dari arah
belakang menyadarkannya dari lamunan. Langkahnya seketika berhenti, tubuhnya
menjadi tegang dan mulai berkeringat dingin. Ingatan tentang kejadian ketika ia
digoda dan dilecehkan oleh lima preman di dalam taksi tiba-tiba saja muncul
dikepalanya. Tanpa sopan-santun perasaan gelisah hadir dan mulai menghantuinya.
Suara laki-laki itu membuat ia ingat tentang kejadian lalu. Mei Ra merasa
frustasi. Ia berbalik dan mulai melangkah mundur. Kepalanya tiba-tiba menjadi
sangat sakit. Kedua tangannya yang bebas mengacak-acak rambutnya asal.
“Jangan mendekat, pergi, pergi, dari
sini” teriak Mei Ra ketakutan.
“Mbak, mbak kenapa?” suara lelaki itu keluar
dari mulutnya dengan nada khawatir.
Mei Ra semakin tidak mengerti, ketika
suara lelaki itu masuk ke telinganya rasa sakit di kepalanya semakin bertambah
dua kali lipat. Ia benar-benar tidak tahu mengapa. Dengan cepat ia berbalik dan
mulai berlari dengan kaki polosnya menjauhi laki-laki tersebut.
Brukk…
“Ada apa mbak?” ucap perempuan yang
ditabrak Mei Ra karena saat berlari ia tak melihat ke depan.
"Tolong.. Tolang saya, saya takut.
Saya ingin pulang, saya takut , tolong saya..., " suara Mei Ra sedikit
bergetar karena ketakutan.
“Jangan takut mbak, ada saya di sini,
saya Nadia, mbak tenang dulu”. Ucap
perempuan yang ditabrak Mei Ra tadi.
Mei Ra bersembunyi dibalik tubuh perempuan
itu. Melihat lelaki yang mengejarnya mendekat, Mei Ra kembali berteriak dan
mencengkram pinggang Nadia dengan kuat. Melihat gelagat Mei Ra, Nadia ikut menoleh
pada laki-laki yang sedang mengejar Mei Ra. Nadia mengangkat tangan kanan namun
pandangannya tetap pada Mei Ra, seperti memberi intruksi berhenti namun tanpa
suara. Isyarat itu dimengerti oleh laki-laki yang mengejar Mei Ra, ia langsung
menyingkir dengan gerakan kaki seribu.
Melihat Mei Ra yang ketakutan saat
melihat laki-laki, Nadia dapat menyimpulkan bahwa perempuan yang tengah
memeluknya kini trauma pada laki laki entah karena ia pernah disakiti atau
bagian dari korban kerusuhan ini. Nadia tidak pernah menutup mata bila
menyangkut kerusuhan, bahkan ia terjun langsung ke lapangan untuk melindungi
sesamanya dari pelecehan. Ia bahkan tak segan segan menghajar preman saat
melihat wanita yang tengah ditelanjangi oleh sekelompok orang.
Bukan, Nadia bukan seorang Tionghoa. Ia
orang Sunda asli kedua orang tuanya adalah orang Bandung. Nadia juga tidak
membenci orang Tionghoa seperti kawan-kawannya yang lain. Ia menjadi relawan karena hatinya tergerak
begitu melihat banyak wanita yang menjadi korban secara fisik maupun psikis akibat
krisis besar di Indonesia. Sebenarnya yang menjadi korban bukan hanya dari ras
Tionghoa saja, kawannya seorang wanita dari Makassar pun juga mengalami hal serupa.
Miris hanya itu kata yang agaknya dapat mewakili segala perasaan Nadia.
Saat merasa cengkraman Mei Ra pada
pinggangnya mengudar, Nadia menanyakan nama dan alamatnya. Namun bukan jawaban
yang Nadia dapat melainkan tangis dan amukan. Nadia paham dengan situasi
seperti ini. Dengan sabar Nadia menerima setiap remasan Mei Ra pada lengannya.
Akhirnya setelah lama Mei Ra menangis ia
mulai membuka suara lirih,
“Mei Ra” singkat namun dapat
mengingatkan Nadia pada seseorang, kawan lamanya dulu. Dulu sekali saat nadia
masih kecil ia sering bermain dengan teman kecilnya yang bernama Mei Ra. Ia
sangat ingat saat jatuh dari sepeda, lutut dan pelipisnya tergores dan
mengalirkan darah segar, Mei Ra lah yang menolongnya meski Mei Ra dan Nadia
memiliki derajat yang berbeda namun Mei Ra kecil tetap mau berteman dengan
Nadia.
Lamunannya terhenti saat melihat
Mei Ra berjalan melewatinya, dengan gusar Nadia mengejar Mei Ra,
"Ini aku Mei, Nadia. " Mei Ra
tak menganggap, ia tetap berjalan dengan pandangan kosong.
"Kamu kenapa Mei? " tanya
Nadia menuntut kejelasan pasal diri Mei Ra.
"Aku antar kamu pulang, aku tau
dimana rumah keluargamu yang baru” jelas Nadia sambil memegang tangan Mei Ra
mencegahnya untuk pergi lebih jauh lagi. Mendengar Nadia berbicara bahwa ia
tahu dimana keluarganya berada, Mei Ra
kembali dihampiri rasa gelisah, ia menutup telinganya, menjambak rambutnya
dengan kuat terlihat jelas dari buku buku jarinya. Mei Ra berteriak, dan
mengamu, apa yang ada di depannya ia rusak dan ia hancurkan. Melihat Mei Ra yang sedang
mengamuk, Nadia mencoba untuk mendekap Mei Ra kembali, mencoba menenangkan Mei
Ra dengan kasih lembutnya.
“Ayo aku antarkan” Nadia menuntun Mei Ra
dengan sabar.
***
Nadia mengetuk pintu pelan, berharap
ada orang di dalam. Suara pintu terbuka mengagetkan Mei Ra. Liana terpaku tanpa
suara pandangannya terkunci pada Mei Ra entah apa yang terjadi pada anak
pertamanya ini. Pikirannya berkecamuk melihat kondisi Mei Ra air mata mulai mengalir
dari sudut mata Liana. “Sore cik, saya menemukan Mei Ra di depan universitas”
ujar Nadia untuk memecah keheningan diantara mereka. Liana tak sanggup lagi ia menarik Mei Ra dalam pelukannya. Perasaan Liana
tak dapat diungkapkan hanya tangisnya yang bisa menjelaskan bagaimana
perasaannya kini. Liana mencoba mempersilahkan Nadia masuk, namun bunyi panggilan
telepon di genggaman Nadia berbunyi dan menghentikan langkah Nadia untuk masuk
ke dalam rumah.
“Saya kesana sekarang” tukas Nadia
seraya menutup panggilannya.
“Maaf cik, saya tidak bisa mampir. Besok
saya akan datang kembali bersama teman saya seorang psikolog” ucap Nadia
bersungguh sungguh sambil memegang tangan Liana, dibalas anggukan dan senyuman
Liana.
BAB
4: UCAPAN LELAKI
Selepas kepergian Nadia yang dilakukan
Mei Ra hanya berdiam di kamar, mengunci diri dari dunia luar. Pandangannya
lurus ke bawah dengan tangan memeluk lutut. Beberapa kali Liana dan Mei Ri
masuk pun tidak sedikitpun mengusik Mei Ra. Namun berbeda jika Koh Liong
ayahnya yang masuk, melihat kepala Koh Liong yang mendongak di depan pintu berusaha
masuk saja sudah membuat Mei Ra histeris. Teriakan, jeritan, tangisan sudah
didengar oleh suami istri ini.
Tadi saat Koh Liong pulang kerumah ia
terkejut melihat anak dan istrinya menangis, ketika ia bertanya mengapa,
istrinya hanya menyebut nama anak pertamanya sambil menunjuk kamar. Dengan
perasaan yang tak karuan Koh Liong membuka pintu, ketika melihat Mei Ra di sudut
kamar timbul ide di kepala Koh Liong. Maksud hati ingin mengejutkan Mei Ra dan
melepas semua kerinduan di hati pada anak tertuanya, malah ia yang terkejut
karena mendapat lemparan bantal dan teriakan memekik telinga dari Mei Ra.
Awalnya Koh Liong berusaha untuk menenangkan Mei Ra namun ia malah dihadiahi
sebuah gigitan ditangan kanannya, untung saja ada Mei Ri yang memisahkan mereka
dan Liana yang menenangkan Mei Ra hingga ia tertidur dengan pulas.
Liana menceritakan semuanya pada Koh
Liong, tentang bagaimana Mei Ra yang diantar Nadia pulang serta amukan-amukan
kecil hingga besar Mei Ra ketika mendengar dan melihat dari kejauhan saja.
Berdasarkan cerita dari Liana dan pengelihatannya tadi, cukup rasanya bagi Koh
Liong untuk menjauh dari anaknya sementara waktu, meski hati kecilnya menolak.
Malam sudah semakin larut namun Koh
Liong tidak bisa menutup matanya, pikirannya berkeliaran menduga-duga apa yang
terjadi pada anak kesayangannya. Malang kian nasib Mei Ra, tidak terasa butiran
air mata jatuh dari pelupuk mata tuanya. Rasanya tidak sanggup lagi bila
melihat keadaan anaknya yang seperti ini, orang tua mana yang tidak terpukul
ketika lama tak melihat anak yang ia cintai karena melanjutkan pendidikan tiba
tiba pulang dengan keadaan yang bisa dibilang gila.
“Apa yang sudah terjadi pada Mei Ra
sebenarnya”? Batin Koh Liong di hatinya.
Koh liong menurunkan kakinya dari
ranjang sepelan mungkin agar tidak membangunkan istrinya, ia tau bahwa Liana
kelelahan saat menidurkan Mei Ra tadi. Koh Liong membuka pintu, ia sengaja
melepas alas kakinya agar tidak menimbulkan suara, berjalan pelan hingga
didepan kamar Mei Ra. Dengan perasaan was-was Koh Liong membuka pintu sepelan
mungkin hingga tidak menimbulkan suara, perasaannya tenang ketika melihat Mei
Ra yang sudah tertidur pulas. Koh Liong mengusap kepala Mei Ra pelan lalu
mengecupnya. Betapa hancur perasaanya kini, rasanya ia telah gagal menjadi
seorang ayah. Bila Tuhan mengijinkan rasanya ia ingin menggantikan Mei Ra. Air
matanya kembali menetes, ia selimuti Mei Ra dengan sayang agar udara dingin
tidak menusuk tubuh Mei Ra. Melihat Mei Ra mulai terusik oleh Koh Liong, ia
memutuskan untuk meninggalkan kamar Mei Ra menutup rapat pintu kamar dan
bergegas kembali ke kamarnya. Perasaanya kini sudah mulai tenang.
Matahari sudah menunjukkan sinar
fajarnya, pagi ini tidak seperti pagi biasanya lebih suram dan gelap,
setidaknya itu yang dirasakan Koh Liong saat melihat Mei Ra yang duduk memeluk
lututnya sendiri di pojok kamar, beberapa kali Mei Ri datang dengan membawa
nampan berisi sarapan untuk Mei Ra berulang kali juga nampan itu dilempar
hingga teronggok di ujung ruangan. Rasanya kuping Koh Liong sudah terasa panas
mendengar teriakan dan jeritan Mei Ra.
Lamunan Koh Liong terhenti saat
mendengar suara ketukan pintu dari luar, Koh Liong hendak berdiri namun dicegah
oleh Mei Ri anak bungsunya, dan berkata biar ia saja yang membuka. Suara di
belakang agaknya mulai mengusik Koh Liong hingga ia menoleh, dan mendapati seorang
laki-laki seumuran Mei Ra
"Selamat pagi om, saya Dana,
Sadana”
“Selamat pagi juga nak, saya sudah tahu
perihal kedatanganmu, ayo masuk” ujar Koh Liong sambil menunjukan kamar Mei Ra
“Terimakasih pak” dibalas anggukan oleh
Koh Liong.
Dana berdiri tepat di depan pintu kamar
Mei Ra yang tertutup, ia mengetuk pelan pintu tersebut dan mulai berbicara,
“Selamat pagi, Mei Ra.
Saya Dana seorang psikolog, saya tidak ada niat jahat dengan kamu tta….” Dana
berhenti berbicara karena suara mengejutkan dari dalam kamar.
Di
dalam kamar Mei Ra tengah mengamuk, suara Dana yang berasal dari balik pintu
berputar di kepala Mei Ra dan mengingatkannya kembali pada suara preman yang
telah menodainya, ia benci suara ini. Rasa takut berkemelut di dadanya, ia
melempar semua benda yang ada di depannya. Meski suara di luar mengintruksinya
untuk tenang, tetap saja ia merasakan gelisah dan takut yang berlebihan Mei Ra
benci ini semua. Mei Ra benci hidupnya.
“Baiklah saya akan pergi” ujar Dana
mengakhiri amukan Mei Ra pagi ini.
“Duduk disini dulu nak,” ujar Koh Liong dari
teras depan rumah. Beliau duduk di kursi menjalin ditemani secangkir teh dan
sepiring kue lapis.
“Maaf pak saya belum mampu membawa Mei
Ra keluar kamar”
“Tidak apa-apa nak, saya mengerti
keadaanya” suara Koh Liong terdengar pilu.
“Maaf pak bila saya mengatakan ini, ini
masih analisis saya.” ragu ragu Dana mengeluarkan suara.
“Katakan saja nak, tidak apa-apa,” Koh
Liong memburu jawaban dari Dana.
“Dari hasil analisis saya, ada indikasi
bahwa Mei Ra adalah korban pelecehan, dari cara Mei Ra menanggapi setiap ucapan
saya, rasanya cukup bagi saya untuk menyimpulkan bagaimana pelecehan itu menimbulkan
trauma yang mendalam” air mata luruh dari mata tua Koh Liong, wajah tuanya
basah. Hatinya bagai diremas. Ia gagal menjadi ayah.
“Lalu bagaimana?” pasrah pada takdir Tuhan
hanya itu yang bisa dilakukan koh liong sekarang.
“Mei Ra bisa sembuh pak, kita yang
disekitarnya harus bisa menguatkannya, kita tunjukkan pada Mei Ra bahwa kita
menerimanya terlepas dari traumanya pak”
“Terimasih banyak nak, bapak berhutang
banyak padamu” ucap Koh Liong seraya menjabat tangan Dana.
“Tidak pak, kita sesama manusia harusnya
memang saling tolong-menolong. Hari sudah siang om, saya mohon undur diri dulu.
Permisi pak”
“Iya nak, hati hati”
BAB
5 : HASUTAN
Mei Ra tersadar dari lamunan
panjang, serpihan memori hinggap dalam ingatannya. Ia melangkah dengan menyeret
kakinya menuju kamar mandi. Ia berdiri di bawah guyuran air,menggosok kulit
putihnya dengan kasar, berharap gosokannya dapat menghilangkan noda di
tubuhnya. Air matanya mengucur deras
selaras dengan derasnya aliran air dari shower.
Cermin
besar di depan wastafel memantulkan wajah kacau Mei Ra. Ingatan itu kembali,
bayangan pada cermin seakan mengolok dirinya. Melontarkan kata-kata kasar yang
terus berdengung di telinganya, Mei Ra takut rasa gelisah menggerayangi
dirinya. Nyatanya mandipun tak bisa membersihkan semua noda yang ia terima,
mereka tetap menempel pada diri Mei Ra seperti perangko pada amplop surat yang
menempel erat tak bisa dilepas Piiaaarrrr……
Bayangan yang mengejeknya kini telah
hancur. Mei Ra sudah tidak tahan lagi, rasanya kepalanya sudah mau pecah. Beban
di pundaknya tak sanggup ia pikul lagi. Ia hanya akan mempermalukan
keluarganya, ia adalah noda yang harus disingkirkan dari nama baik keluarga Koh
Liong.
Hasutan setan agaknya sudah merasuki
pikiran Mei Ra, matanya menggelap saat menangkap serpihan kaca runcing yang
berada tepat di bawah kakinya. Kakinya bersimpuh di depan pintu kamar mandi.
Mei Ra mengusap pipinya dengan sangat amat kasar menghilangakan genangan air
mata yang mengalir dari mata sipitnya.
Gedoran pintu semakin keras,
teriakan demi teriakan juga tertangkap indra pendengaran Mei Ra namun tak
diindahkannya, tangan mulusnya hinggap pada serpihan di kakinya, matanya
menatap tajam pecahan kaca. Mungkin bila ia mati tidak akan ada noda pada
keluarganya, senyumnya mengembang. Ini yang terbaik. Serpihan kaca itu semakin
dekat pada nadi di lengan tangannya.
Brakk…
Betapa terkejutnya Koh Liong saat mendobrak
pintu melihat keadaan Mei Ra dengan baju basah kuyup dan darah segar yang
mengalir dari pergelangan tangan Mei Ra. Dengan sigap Koh Liong membopong tubuh
lemah Mei Ra, berulang kali Koh Liong meyakinkan dirinya bahwa Mei Ra akan baik
baik saja.
Dengan sigap Koh Liong membopong
tubuh ringkih Mei Ra seraya berdoa pada Tuhan semoga putrinya baik baik saja.
Liana dan Mei Ri terkejut setengah mati melihat Mei Ra wajahnya kini sudah
memucat, buru-buru ia menelepon seorang dokter langganannya untuk segera
kemari.
“Bagaimana dok?” tanya Koh
Liong pada dokter selepas memeriksa Mei Ra.
“Untung saja tidak
sampai ke pembuluh darah pak, goresan itu akan cepat sembuh, saya sudah menulis
resep agar tidak terjadi pembengkakan dan mengurangi nyeri. Obatnya diminum
sehari dua kali pak. Saya pamit dulu” Koh Liong mengantarkan sang dokter hingga
ke depan teras, hatinya tenang mendengar tidak ada hal serius pada Mei Ra.
Di dalam kamar Mei Ra
duduk terdiam, terlihat Mei Ri selalu memelukinya dan Liana yang terus mengusap
rambut Mei Ra dengan sayang.
Plaakk..
Tamparan
keras yang diberikan Koh Liong pada Mei Ra mengagetkan seluruh isi kamar, suaranya
seperti menggema. Mei Ra yang terkejut mendapat hadiah dari sang papi
meneteskan air matanya, meski ia mendengar Liana membentak papinya berulang
kali, agaknya tidak didengarkan Koh Liong
Mei Ra mendongakkan
wajahnya ia lihat wajah tua papinya yang kini terbalut lelah, ia juga melihat
gumpalan air mata dari sudut mata papinya yang tertutupi kacamata.
“Menurutmu yang kamu
lakukan itu benar Ra?” suara sendu Koh Liong menggambarkan secara jelas bagaimana
perasaannya kini.
“Jawab papi” air
matanya lolos dari bingkai kacamata tua itu
“Apa salah Papi padamu
ra? Katakan apa salah Papi” air mata Mei Ra sudah mengucur deras.
“Apa ini balasan untuk
papi yang telah membesarkan mu? Apa ini cita citamu untuk papi? Agar papi bisa
membakar jasadmu ra?” suara koh liong serak akibat airmata yang terus mengalir
“Aku ini papi mu Ra,
ayahmu. Papi sangat menyayangimu, Papi tidak peduli bagaimana keadaanmu. Papi
tetap sayang Mei Ra” tukas papinya sambil mendudukan diri di sebelah Mei Ra,
tangannya terayun mengusap lembut rambut Mei Ra.
Pertahanan Mei Ra
hancur, kesadarannya seakan kembali bersama tamparan yang diberikan pada Mei Ra.
“Papi” suara Mei Ra
bergetar, mendengar itu Koh Liong langsung memeluk Mei Ra. Perasaanya lebih
tenang sekarang. Mei Ra merasa tenang keluarga yang ia cintai masih mau
menerimanya.
BAB 6 : SESI KEDUA
Pagi ini suasana lebih
cerah dari sebelumnya, keadaan Mei Ra semakin membaik setiap harinya. Ia tak
lagi takut pada Koh Liong. Meski Mei Ra tak seceria dulu tapi setidaknya bila
diajak komunikasi ia mau menjawab. Koh Liong tidak menuntut lebih dari pada itu,
kejadian berhari hari lalu membuat Koh Liong selalu siaga, sudah tidak ada
cermin dan benda benda tajam dirumahnya kini.
Pagi ini Dana
menjadwalkan untuk datang ke rumah Mei Ra, beberapa hari lalu ia mendengar
bahwa Mei Ra mencoba untuk bunuh diri untung saja dapat digagalkan oleh
ayahnya. Mei Ra yang malang ujar Dana dalam hati.
“Selamat pagi pak,
bagaimana keadaannya?” suara Dana memecahkan lamunan koh liong
“Pagi juga nak Dana,
semakin baik. Dia sudah mau memanggilku papi” dengan bangga Koh Liong menceritakannya
“Syukurlah, boleh saya
lihat om?” tanya Dana
“Oohh, tentu. Mari
mari” sambil mengantarkan Dana ke kamar Mei Ra
melihat
kondisi Mei Ra yang semakin terawat membuat dana senang.
“Selamat pagi Mei Ra”
mendengar suara dana rasa takut itu segara hadir
“Jangan takut, jangan
takut. Saya tidak jahat. Saya temannya Nadia. Ingat?” mengingatkan Mei Ra
“Mei Ra, kamu harus
menyingkirkan rasa takutmu, semuanya dapat kamu kendalikan Mei Ra, kendalikan
semuanya dari sini” seraya menunjuk kepalanya agar Mei Ra dapat mengerti.
Setelah dua jam sesi
kedua ini dilakukan, keadaan meira sepertinya sudah semakin baik, bahkan tadi
ia mau diajak keluar , suatu keberhasilan yang cukup berat. Bahkan Mei Ra juga
ikut mengantarkan Dana pulang dengan digandeng sang ayah.
****
Suasana
di dalam rumahnya kini sangat sepi, bahkan sudah seperti rumah kosong tak
berpenghuni, Pikiran Mei Ra melayang ke atas, ia bertanya-tanya dimanakah orang
tuanya berada. Mei Ra mencoba untuk menelisik seisi rumahnya, namun nihil tak
ada orang siapapun. Ia menuju pelataran rumah dan melihat suasana di luar.
Terjadi kerusakan parah di depan rumahnya, pot-pot bunga pecah, bahkan jalanan
dipenuhi ban karet yang dibakar. Meski begitu, tidak ada seorang pun yang
terlihat. Mei Ra yang merasa gelisah dan kebingungan karena situasi yang tiba-tiba
ini mencoba menyusuri jalanan, berharap akan menemui seseorang.
Langkah
kaki Mei Ra kini mungkin sudah tak terhitung sebanyak apa ia berjalan, namun
sepanjang itu ia berjalan ia tak juga menemui seorang pun. Mendadak Mei Ra merasakan ada sesuatu yang
aneh, seperti ada yang mengikuti dirinya. Ia menoleh ke belakang berulang kali
memastikan semuanya baik-baik saja. Mei Ra mendengar iringan langkah kaki yang
semakin mendekat pada dirinya, jelas sekali bahwa ada seseorang yang sedang
mengikutinya. Dengan mengikuti intuisinya Mei Ra mempercepat langkahnya pada
jalanan yang sepi. Namun tak disangka sejauh ia berjalan tanpa memperhatikan
jalan membuatnya terpojok, langkahnya terhenti di sebuah gudang yang kosong. Mei Ra masuk ke dalam gudang itu dan mencoba untuk
bersembunyi seperti tikus kecil, mengendap-endap diantara drum-drum besar.
Menyelipkan dirinya agar orang yang mengikutinya tak bisa menemukannya.
Dreett..
Dreett..
Langkah
itu semakin mendekat. Empat laki-laki berdiri tepat di samping Mei Ra, untung
saja tidak ada pencahayaan yang baik di sini, hanya sinar bulan dan lampu jalan
yang menembus jendela gudang kosong ini. Mei Ra boleh bernafas lega sekarang, empat
laki-laki tersebut berjalan melewati Mei Ra tanpa mengetahui keberadaannya. Mei
Ra hendak membalikkan tubuhnya untuk mencari jalan keluar dari gudang. Betapa
ia terkejut empat laki-laki yang tadi melewatinya kini sudah berada di depannya.
Ia berteriak dengan keras. Empat laki-laki itu menarik baju Mei Ra dengan kasar.
Terlihat jelas dari sobekan-sobekan pada baju yang ia kenakan kini. Satu
persatu mereka mencoba menyentuh Mei Ra.
Kini
Mei Ra sudah terpojokkan sudut gudang, empat lelaki itu tertawa terbahak-bahak
melihat keadaan Mei Ra dengan pakaian yang sudah tidak utuh. Robekan di bajunya
sudah tidak dapat ia tutupi lagi. Ingin rasanya ia berteriak meminta tolong,
namun suaranya seperti tercekat ditenggorokan, ia tak bisa mengeluarkan
suaranya. Perasaan Mei Ra sudah kalut, air mata mulai mengucur deras dari
pelupuk matanya. Empat lelaki yang tidak bisa Mei Ra hentikan itu mulai
mendekat, tangan-tangan nakal mereka mulai menghinggapi tubuh Mei Ra, dan
berhasil meloloskan sentuhan di atas tubuh Mei Ra.
****
Mei Ra terbangun,
dengan keadaan basah kuyup karena keringat yang membanjir. Wajahnya tampak
pucat pasi. Mimpinya, rasanya seperti nyata bagaimana tangan-tangan bajingan
yang menyentuhnya, tangan sialan yang merobek baju hingga menelanjanginya. Rasa
takut dan gelisah merayapi hatinya. Perkataan preman-preman bajingan itu
terngiang dikepalanya, berputar bersama suara Dana, kepalanya sakit, ini gila.
Mei Ra benar-benar merasa gila saat ini.
Ia meloncat dari
kasurnya, membuka pintu kamar. Air matanya mulai menetes, ia tidak bisa hidup
seperti ini selamanya, menanggung malu dan trauma yang selalu menghantuinya.
Bergegas ia keluar rumah, pelan-pelan agar tak seorangpun sadar akan
kepergiannya.
Mei Ra berlari dengan
kencang, tanpa alas kaki, persetan dengan jalanan aspal yang kasar dan kotor.
Kepalanya kembali sakit, suara Dana yang menyuruhnya untuk mengendalikan
dirinya sendiri dan suara preman yang melecehkannya dengan ucapan yang
menjijikan bagi Mei Ra berkecamuk di kepalanya. Kakinya tertatih-tatih akibat
lecet di kakinya. Air matanya terus mengalir, tangannya masih setia menjambak
rambut dengan keras.
Di pinggir jembatan Mei
Ra berhenti sejenak, berpegangan pada gagang besi. Pikirannya berkelana di luar
batas, berandai-andai agaknya sudah terlampaui. Tangannya berpegangan kuat pada
gagang jembatan, ia melihat ke bawah samar-samar akan tingginya. Tekadnya kini
sudah bulat, tak ada artinya hidup bila harus menanggung malu, tak ada seorang
pria pun yang mau dengan barang sisa sampah seperti dirinya. Selangkah dua
langkah semakin dekat, pandangannya lurus ke depan, kakinya menaiki gagang
pertama. Pegangannya semakin kuat saat semua kakinya sudah berada pada gagang
yang kedua, sedikit lagi sampah ini akan pergi pikirnya dalam hati. Udara
dingin bercampur angin yang kuat berhembus menyapu lengannya, sebentar
perasaanya ragu sebentar ia tangguh. Tidak, tidak, ia memang harus mati,
bayangan tentang mimpinya barusan berputar dalam anggannya. Pelan namun pasti
ia melepas peganggannya pada tiang penyangga...
BAB
7 :TETO
Udara malam berlari dengan bebasnya
menusuk-nusuk kulit mereka yang tidak terlapisi kain. Udara yang mungkin akan
mematikan siapa saja yang dilewatinya karena rasa dingin yang dibawanya. Namun
suasana yang masih berkecamuk dengan panasnya mengalahkan segala dinginnya
udara. Pelataran gedung DPR/MPR yang dipenuhi ratusan hingga ribuan pemuda dari
seluruh universitas di Indonesia, meminta penghentian rezim dan menuntut
dilengserkannya sang pemimpin negara, Soeharto. Keputusan yang tidak juga
segera diambil menyebabkan suasana panas ini tidak juga berkesudahan. Apalagi
semenjak kematian tiga mahasiswa Universitas Trisakti menambah gelapnya suasana
yang sedang terjadi .
Tanah kasar di depan gedung menjadi
saksi bisu perjuangan ini, tanah yang dijadikan alas tidur seluruh mahasiswa yang setia
menunggu datangnya kabar baik dari sang pemimpin. Muak, hanya kata itu yang terlintas di benak Teto. Keputusan yang
tidak kunjung datang semenjak tiga hari lalu membuat Teto muak. Pemerintah yang
sangat lamban, pikirnya. Benar, Teto memang ikut andil dalam acara demonstrasi
ini. Dan untuk malam ini ia merasa harus keluar dari kubangan ini dan mencari
udara segar yang dapat menyegarkan pikirannya kembali. Ia memutuskan berjalan melewati
kawan-kawannya dan mulai menjauhi pelataran gedung menuju jalanan sepi di
tengah malam.
Matanya yang sipit menelisik sepanjang
jalan yang ia lewati, melihat apa saja yang menurutnya indah di malam hari.
Samar-samar udara yang berada di paru-parunya mulai tergantikan dengan udara baru
yang lebih segar. Kaki Teto yang melangkah pasti terhenti seketika, matanya
yang sipit melebar tatkala melihat seseorang sedang berdiri di pinggir
jembatan. Ia menggelengkan kepalanya keras-keras, menyadarkan pikiranya. Jangan
sampai seseorang yang berada tak jauh di depannya akan melakukan hal gila yang
baru saja ia pikirkan. Namun, langkah demi langkah kaki mantap orang di
depannya yang menaiki satu persatu gagang pembatas jembatan membuat seketika harapannya
rubuh. Ini diluar dugaan
***
Bruukkk..
Mei Ra terkejut
setengah mati, seseorang memeluknya dari belakang, mencoba menggagalkan
usahanya. Mei Ra meronta agar dilepaskan
namun tubuhnya malah diangkat dan dibanting turun di aspal. Mei Ra me
rasakan tubuhnya sedikit sakit karena bantingan yang cukup kasar. Ia lalu memandang marah orang yang menariknya. Ia terkejut saat melihat orang ini, orang yang pernah ia temui sekali di dekat kampus dulu. Orang yang belum sempat ia ketahui namanya.
“Kamu gila ya?” ujar lelaki itu, Mei Ra sedikit terkejut dengan bentakan itu. Seharusnya ia yang marah, bukan lelaki itu. Lelaki di depannya kini sedang menggosok kasar kepalanya sendiri.
“Kamu gila ya, sakit tau bunuh diri. Goblok banget jadi orang”cela lelaki itu pada Mei Ra.
“Kamu yang di kampus dulu kan, Saya tahu kamu, kamu Mei Ra kan? Saya Teto. Sekarang kamu akan saya antar pulang, pasti keluargamu sedang mencemaskanmu”, mendengar itu Mei Ra terdiam, ia kaku seakan tak bisa bergerak.
“Saya tidak mau pulang, saya malu. Saya sampah yang menjijikan”, tukas Mei Ra dengan air mata yang banjir di seluruh pipinya.
“Kamu ngomong apa sih? Masih setres? Hmm, gini ya. Kamu boleh menganggap ini omong kosong atau semacamnya, terserah kamu, tetapi yang terpenting kamu dengarkan perkataan saya ini” ujar Teto dengan nada otoriter khas ia saat berorasi di depan gedung MPR.
“Kamu masih beruntung, keluarga kamu lengkap. Di luar sana, banyak yang lebih menderita dari kamu. Termasuk saya, adik saya sudah meninggal, bunuh diri, di depan mata saya, ayah saya mati karena menolong adik saya yang dilecehkan beramai ramai” lanjut Teto dengan nada marah sambil menunjuk sekitarnya.
“Dengan kamu mati, masalah tidak akan selesai, mengerti? Keluargamu yang akan menanggung beban yang seharusnya tidak mereka tanggung. Jangan jadi orang yang egois, pikirkan juga keluarga kamu bukan hanya diri kamu sendiri”, perkataan Teto menohok Mei Ra begitu tajam dan mendalam masuk dalam relung hatinya.
“Saya anggap kamu mengerti, sekarang ayo pulang” Teto menarik paksa tangan Mei Ra dengan kuat agar tidak terlepas.
****
“Permisi” suara Teto di depan rumah Mei Ra. Koh Liong segera mendekat ke arah pintu setelah melihat bayangan putrinya yang tengah ia cari. Tadi pagi setelah ayam berkokok ia terbangun, Koh Liong sedikit curiga saat melihat kamar Mei Ra yang sedikit terbuka, begitu ia masuk ke dalam ia tak mendapati batang hidung Mei Ra di sana, dengan perasaan cemas ia berteriak-teriak hingga seisi rumah terbangun.
“Saya bertemu Mei Ra di jembatan gantung dekat gedung Trisakti, ia mencoba bunuh diri, namun selamatnya saya masih bisa mencapainya” Koh Liong sedikit terkejut mendengar pernyataan dari Teto, tenggorokannya tiba-tiba tercekat, ia tak dapat berkata-kata, hanya sebuah anggukan yang mampu ia berikan pada Teto
“Kalau begitu saya mohon undur diri dulu pak, permisi”, dengan sopan Teto mencium tangan Koh Liong sebagai rasa hormat.
“Terima kasih nak, hati hati”, akhirnya kata itu keluar juga dari bibir Koh Liong.
Koh Liong langsung memeluk Mei Ra dengan erat, seakan takut kehilangan Mei Ra untuk yang ke sekian kali.
BAB 8 : MATAHARI DI BULAN SEPTEMBER
Hari ini matahari nampak lebih terik dari biasanya, sama seperti wajah Mei Ra yang lebih bercahaya. Kini ia tengah berada di tengah-tengah kerumunan orang dalam organisasi sosial bentukan Nadia. Tidak, bukan Nadia yang mengajaknya kemari, tapi Sadana, psikiater yang membantunya melawan segala kesulitan.
Mei Ra memang belum sepenuhnya pulih, namun bila ia sering bersosialisasi dengan lingkungan luar, dan dapat mengendalikan ketakutannya serta rajin minum obat anti depresan, ia pasti cepat sembuh. Setidaknya itu yang dikatakan Dana dalam sesi konsultasinya akhir- akhir ini.
Dana benar, Mei Ra merasa lebih nyaman dan beruntung di sini. Di sini ia dapat bertemu dengan orang-orang baru yang tidak jarang lebih menderita dari dirinya. Organisasi sosial ini membantu pemulihan korban dari kerusuhan seperti korban pengeroyokan, korban pelecehan dan masih banyak lagi lainnya, kebanyakan mereka wanita dan ber-ras Tionghoa,sama seperti dirinya. Di sini Nadia dan Dana membangun kembali psikis mereka dengan berbagai kegiatan yang mendukung.
Tatapan Mei Ra terpaku pada sesosok laki-laki yang sedang menyuapi seorang gadis cilik, bila Mei Ra tafsir mungkin masih sekitar lima tahun. Laki-laki itu nampak dengan sabar menyuapi gadis kecil di depannya dan sesekali tertawa. Ahh benar, Mei Ra ingat. Itu si perusuh Teto, iya si Teto yang sering memergokinya bunuh diri di jembatan gantung dekat basecamp Mapala Trisakti, sebenarnya tidak sering juga hanya tiga kali, ia dipergoki dan naasnya Teto selalu berhasil menggagalkannya. Mungkin karena Teto jugalah ia menjadi tercerahkan dan sedikit demi sedikit mulai bangkit, perkataan Teto yang tajam hingga menusuk ke dalam ulu hati sehingga menyadarkannya bahwa hidup harus terus berjalan, dan kita bukan alasan untuk menghentikannya. Andai saja tidak ada Teto mungkin ia sudah dikremasi dan hidup dalam keramik. Mengingat itu membuat Mei Ra tertawa sendiri. Mei Ra sudah punya tekad untuk bangkit dan meraih semua cita-citanya yang ia tunda selama ini akibat traumatis yang sialannya selalu mengahalanginya untuk berkembang.
“Kamu nggak lagi kabur kan?”, suara Teto membuyarkan lamunan Mei Ra,
“Tii..dak”, otak dan mulut Mei Ra tidak sinkron, ia tergagap-gagap menjawab Teto.
“Jangan mikir buat bunuh diri lagi, Ra. Iya jika kamu langsung mati, jika tidak, bisa jadi cacat kamu”, dasar Teto, ucapannya tak pernah ia saring. Benar-benar menusuk, khas dirinya.
“Saya juga sudah tidak minat, lebih tidak berniat lagi mendengar kata-kata kamu yang tajam”, ujar Mei Ra sambil berjalan meninggalkan Teto.
“Ra, mau kemana kamu, kenapa saya malah ditinggal?”, gerutu Teto yang tak mendapat jawaban
MEI RA DAIYU
“Beri tepuk tangan yang meriah untuk Mei Ra Daiyu”, ucap seorang presenter dalam sebuah acara sosial.
“Selamat pagi. Sebelumnya, perkenalkan nama saya adalah Mei Ra Daiyu. Saya adalah seorang etnik Tionghoa. Hari ini adalah hari yang benar-benar tidak terduga untuk saya. Saya dapat berdiri di sini, di depan kalian semua. Sebelumnya saya tidak pernah membayangkan dapat berdiri di sini. Karena saya pernah pupus harapan untuk hidup. Berulang kali mencoba untuk bunuh diri, namun karena Tuhan baik kepada saya, ia mengirim orang-orang yang dengan sabar menemani dan membantu saya keluar dari masa kelam saya. Membangkitkan kembali rasa percaya diri saya, bahkan setelah tahu keadaan saya yang sebenarnya mereka tetap menerima saya. Namun tidak semua pengalaman yang saya alami hanya memiliki sisi buruk, dibalik semua itu pada akhirnya saya dapat memperjuangkan kembali hidup saya terutama perempuan. Melalui organisasi yang telah dibuat pemerintah yaitu Komisi Perlindungan Perempuan Indonesia atau KPAI menjadikan saya tidak lagi takut menghadapi kehidupan saya ke depannya. Bagi perempuan-perempuan di luar sana, kita juga tidak lagi harus menjadi wanita kuat, menjadi wanita yang tidak lagi dapat diremehkan oleh orang lain. Martabat wanita memang seharusnya dijunjung tinggi, bukan diinjak-injak dengan seenaknya. Kita itu wanita, bukan barang yang dapat digunakan seenaknya oleh orang lain, kita harus bangkit dan melawan penjajahan terhadap wanita. Jadi jangan remehkan lagi kekuatan yang ada pada diri perempuan”, ucap Mei Ra dengan menggebu-gebu.
Di atas panggung setelah menutup sambutannya yang berisi kisah hidup serta motivasi Mei Ra untuk terus melanjutkan hidup, jujur saja Mei Ra sangat bersyukur melihat para sahabatnya sedang berkumpul terutama Nadia, Dana dan Teto yang masih sibuk menatap dirinya. Ia bergegas turun dari panggung.
“Selamat ya Nyonya Mei Ra Daiyu CEO Society Care” ujar Nadia, ia menekankan kata nyonya dan CEO di sana, tentu saja tidak bermaksud menyinggung atau semacamnya. Nadia hanya sedang menggoda Mei Ra.
“Kamu apa sih Nad, ini juga berkat kamu nganterin aku pulang ke rumah." balas Mei Ra tersenyum sembari memeluk Nadia.
“Cuma Nadia saja yang dipeluk, saya juga mau”, ucap Dana menggoda Mei Ra dan Nadia, namun hanya dibalas pukulan kecil oleh Mei Ra, hingga menimbulkan tawa diantara mereka.
to be Continue!!
nb: Tugas sekolah yang di penuhi fiksi anak remaja, Maklum ya 😃😃
Sumber terkait :
1. https://ms.wikipedia.org/wiki/Novel_sejarah (Diakses, Sabtu, 10 November 2018)
2. https://zuhriindonesia.blogspot.com/2018/07/struktur-novel-sejarah-atau-cerita.html (Diakses, Sabtu 10 November 2018
rasakan tubuhnya sedikit sakit karena bantingan yang cukup kasar. Ia lalu memandang marah orang yang menariknya. Ia terkejut saat melihat orang ini, orang yang pernah ia temui sekali di dekat kampus dulu. Orang yang belum sempat ia ketahui namanya.
“Kamu gila ya?” ujar lelaki itu, Mei Ra sedikit terkejut dengan bentakan itu. Seharusnya ia yang marah, bukan lelaki itu. Lelaki di depannya kini sedang menggosok kasar kepalanya sendiri.
“Kamu gila ya, sakit tau bunuh diri. Goblok banget jadi orang”cela lelaki itu pada Mei Ra.
“Kamu yang di kampus dulu kan, Saya tahu kamu, kamu Mei Ra kan? Saya Teto. Sekarang kamu akan saya antar pulang, pasti keluargamu sedang mencemaskanmu”, mendengar itu Mei Ra terdiam, ia kaku seakan tak bisa bergerak.
“Saya tidak mau pulang, saya malu. Saya sampah yang menjijikan”, tukas Mei Ra dengan air mata yang banjir di seluruh pipinya.
“Kamu ngomong apa sih? Masih setres? Hmm, gini ya. Kamu boleh menganggap ini omong kosong atau semacamnya, terserah kamu, tetapi yang terpenting kamu dengarkan perkataan saya ini” ujar Teto dengan nada otoriter khas ia saat berorasi di depan gedung MPR.
“Kamu masih beruntung, keluarga kamu lengkap. Di luar sana, banyak yang lebih menderita dari kamu. Termasuk saya, adik saya sudah meninggal, bunuh diri, di depan mata saya, ayah saya mati karena menolong adik saya yang dilecehkan beramai ramai” lanjut Teto dengan nada marah sambil menunjuk sekitarnya.
“Dengan kamu mati, masalah tidak akan selesai, mengerti? Keluargamu yang akan menanggung beban yang seharusnya tidak mereka tanggung. Jangan jadi orang yang egois, pikirkan juga keluarga kamu bukan hanya diri kamu sendiri”, perkataan Teto menohok Mei Ra begitu tajam dan mendalam masuk dalam relung hatinya.
“Saya anggap kamu mengerti, sekarang ayo pulang” Teto menarik paksa tangan Mei Ra dengan kuat agar tidak terlepas.
****
“Permisi” suara Teto di depan rumah Mei Ra. Koh Liong segera mendekat ke arah pintu setelah melihat bayangan putrinya yang tengah ia cari. Tadi pagi setelah ayam berkokok ia terbangun, Koh Liong sedikit curiga saat melihat kamar Mei Ra yang sedikit terbuka, begitu ia masuk ke dalam ia tak mendapati batang hidung Mei Ra di sana, dengan perasaan cemas ia berteriak-teriak hingga seisi rumah terbangun.
“Saya bertemu Mei Ra di jembatan gantung dekat gedung Trisakti, ia mencoba bunuh diri, namun selamatnya saya masih bisa mencapainya” Koh Liong sedikit terkejut mendengar pernyataan dari Teto, tenggorokannya tiba-tiba tercekat, ia tak dapat berkata-kata, hanya sebuah anggukan yang mampu ia berikan pada Teto
“Kalau begitu saya mohon undur diri dulu pak, permisi”, dengan sopan Teto mencium tangan Koh Liong sebagai rasa hormat.
“Terima kasih nak, hati hati”, akhirnya kata itu keluar juga dari bibir Koh Liong.
Koh Liong langsung memeluk Mei Ra dengan erat, seakan takut kehilangan Mei Ra untuk yang ke sekian kali.
BAB 8 : MATAHARI DI BULAN SEPTEMBER
Hari ini matahari nampak lebih terik dari biasanya, sama seperti wajah Mei Ra yang lebih bercahaya. Kini ia tengah berada di tengah-tengah kerumunan orang dalam organisasi sosial bentukan Nadia. Tidak, bukan Nadia yang mengajaknya kemari, tapi Sadana, psikiater yang membantunya melawan segala kesulitan.
Mei Ra memang belum sepenuhnya pulih, namun bila ia sering bersosialisasi dengan lingkungan luar, dan dapat mengendalikan ketakutannya serta rajin minum obat anti depresan, ia pasti cepat sembuh. Setidaknya itu yang dikatakan Dana dalam sesi konsultasinya akhir- akhir ini.
Dana benar, Mei Ra merasa lebih nyaman dan beruntung di sini. Di sini ia dapat bertemu dengan orang-orang baru yang tidak jarang lebih menderita dari dirinya. Organisasi sosial ini membantu pemulihan korban dari kerusuhan seperti korban pengeroyokan, korban pelecehan dan masih banyak lagi lainnya, kebanyakan mereka wanita dan ber-ras Tionghoa,sama seperti dirinya. Di sini Nadia dan Dana membangun kembali psikis mereka dengan berbagai kegiatan yang mendukung.
Tatapan Mei Ra terpaku pada sesosok laki-laki yang sedang menyuapi seorang gadis cilik, bila Mei Ra tafsir mungkin masih sekitar lima tahun. Laki-laki itu nampak dengan sabar menyuapi gadis kecil di depannya dan sesekali tertawa. Ahh benar, Mei Ra ingat. Itu si perusuh Teto, iya si Teto yang sering memergokinya bunuh diri di jembatan gantung dekat basecamp Mapala Trisakti, sebenarnya tidak sering juga hanya tiga kali, ia dipergoki dan naasnya Teto selalu berhasil menggagalkannya. Mungkin karena Teto jugalah ia menjadi tercerahkan dan sedikit demi sedikit mulai bangkit, perkataan Teto yang tajam hingga menusuk ke dalam ulu hati sehingga menyadarkannya bahwa hidup harus terus berjalan, dan kita bukan alasan untuk menghentikannya. Andai saja tidak ada Teto mungkin ia sudah dikremasi dan hidup dalam keramik. Mengingat itu membuat Mei Ra tertawa sendiri. Mei Ra sudah punya tekad untuk bangkit dan meraih semua cita-citanya yang ia tunda selama ini akibat traumatis yang sialannya selalu mengahalanginya untuk berkembang.
“Kamu nggak lagi kabur kan?”, suara Teto membuyarkan lamunan Mei Ra,
“Tii..dak”, otak dan mulut Mei Ra tidak sinkron, ia tergagap-gagap menjawab Teto.
“Jangan mikir buat bunuh diri lagi, Ra. Iya jika kamu langsung mati, jika tidak, bisa jadi cacat kamu”, dasar Teto, ucapannya tak pernah ia saring. Benar-benar menusuk, khas dirinya.
“Saya juga sudah tidak minat, lebih tidak berniat lagi mendengar kata-kata kamu yang tajam”, ujar Mei Ra sambil berjalan meninggalkan Teto.
“Ra, mau kemana kamu, kenapa saya malah ditinggal?”, gerutu Teto yang tak mendapat jawaban
MEI RA DAIYU
“Beri tepuk tangan yang meriah untuk Mei Ra Daiyu”, ucap seorang presenter dalam sebuah acara sosial.
“Selamat pagi. Sebelumnya, perkenalkan nama saya adalah Mei Ra Daiyu. Saya adalah seorang etnik Tionghoa. Hari ini adalah hari yang benar-benar tidak terduga untuk saya. Saya dapat berdiri di sini, di depan kalian semua. Sebelumnya saya tidak pernah membayangkan dapat berdiri di sini. Karena saya pernah pupus harapan untuk hidup. Berulang kali mencoba untuk bunuh diri, namun karena Tuhan baik kepada saya, ia mengirim orang-orang yang dengan sabar menemani dan membantu saya keluar dari masa kelam saya. Membangkitkan kembali rasa percaya diri saya, bahkan setelah tahu keadaan saya yang sebenarnya mereka tetap menerima saya. Namun tidak semua pengalaman yang saya alami hanya memiliki sisi buruk, dibalik semua itu pada akhirnya saya dapat memperjuangkan kembali hidup saya terutama perempuan. Melalui organisasi yang telah dibuat pemerintah yaitu Komisi Perlindungan Perempuan Indonesia atau KPAI menjadikan saya tidak lagi takut menghadapi kehidupan saya ke depannya. Bagi perempuan-perempuan di luar sana, kita juga tidak lagi harus menjadi wanita kuat, menjadi wanita yang tidak lagi dapat diremehkan oleh orang lain. Martabat wanita memang seharusnya dijunjung tinggi, bukan diinjak-injak dengan seenaknya. Kita itu wanita, bukan barang yang dapat digunakan seenaknya oleh orang lain, kita harus bangkit dan melawan penjajahan terhadap wanita. Jadi jangan remehkan lagi kekuatan yang ada pada diri perempuan”, ucap Mei Ra dengan menggebu-gebu.
Di atas panggung setelah menutup sambutannya yang berisi kisah hidup serta motivasi Mei Ra untuk terus melanjutkan hidup, jujur saja Mei Ra sangat bersyukur melihat para sahabatnya sedang berkumpul terutama Nadia, Dana dan Teto yang masih sibuk menatap dirinya. Ia bergegas turun dari panggung.
“Selamat ya Nyonya Mei Ra Daiyu CEO Society Care” ujar Nadia, ia menekankan kata nyonya dan CEO di sana, tentu saja tidak bermaksud menyinggung atau semacamnya. Nadia hanya sedang menggoda Mei Ra.
“Kamu apa sih Nad, ini juga berkat kamu nganterin aku pulang ke rumah." balas Mei Ra tersenyum sembari memeluk Nadia.
“Cuma Nadia saja yang dipeluk, saya juga mau”, ucap Dana menggoda Mei Ra dan Nadia, namun hanya dibalas pukulan kecil oleh Mei Ra, hingga menimbulkan tawa diantara mereka.
to be Continue!!
nb: Tugas sekolah yang di penuhi fiksi anak remaja, Maklum ya 😃😃
Sumber terkait :
1. https://ms.wikipedia.org/wiki/Novel_sejarah (Diakses, Sabtu, 10 November 2018)
2. https://zuhriindonesia.blogspot.com/2018/07/struktur-novel-sejarah-atau-cerita.html (Diakses, Sabtu 10 November 2018
Lanjut kan gan, nice post..
BalasHapusTerima kasih
Hapus