Sabtu, 20 Oktober 2018

Novel Sejarah | Reformasi 1998 (Termarginalkan)

Novel Sejarah
            Novel sejarah ialah sebuah novel yang ceritanya diletakkan pada masa lampau dan bertujuan untuk menghidupkan keadaan-keadaan yang wujud pada masa lepas. Banyak novel sejarah memasukkan watak-watak bersejarah sebagai watak utama atau kecil ke dalamnya
       Novel sejarah juga dapat diartikan sebagai novel yang di dalamnya menjelaskan dan menceritakan tentang fakta kejadian masa lalu yang menjadi asal-muasal atau latar belakang terjadinya sesuatu yang memiliki nilai kesejarahan, bisa bersifat naratif atau deskriptif, dan disajikan dengan daya khayal pengetahuan yang luas dari pengarang.

Contoh Novel Sejarah 
        Novel ini berlatarkan pada Masa Reformasi 1998, sudut pandang yang diambil penulis adalah dari sisi korban Reformasi yaitu berasal dari orang Tionghoa yang saat itu tinggal di Indonesia. Novel ini menceritakan peristiwa di balik Reformasi 1998 dimana selain demonstrasi mahasisiwa yang memakan korban di lain sisi terdapat cerita kelam yang menimpa masyarakat Tionghoa. Tionghoa yang tidak tahu menahu tentang permasalhan ini menjadi tumbal Reformasi.  Cerita ini menekankan bahwa pada saat reformasi, terjadi pendiskriminasian terhadap Tionghoa khususnya wanita Tionghoa.

TERMARGINALKAN

BAB 1 : KEJUTAN  DI BULAN MEI

Pagi yang cerah tak secerah suasana di Jakarta, begitu kacau. Mobil-mobil dibakar toko-toko dihancurkan, suara tangis, dan dentuman barang-barang yang pecah seakan jadi lagu pengiring dalam kerusuhan ini. Berawal dari krisis tak berkesudahan hingga naiknya harga bahan-bahan pokok seperti tak tersentuh di kalangan duafa. Belum lagi bumbu-bumbu yang dimasukkan agar kerusuhan ini semakin panas dan membara.
Nampak orang-orang berotot sedang sibuk membuang-buang peralatan dagang Koh Liong, Ada seorang yang menghancurkan televisi dan perabot elektronik lainnya. Ada pula yang sibuk memberantakkan roti-roti dan sembako yang Koh Liong jual. Di ujung sana, di pinggir jalan Koh Liong beserta istri dan anaknya menangis meratapi kejadian yang tidak pernah ia bayangkan. Luka di kaki dan tangan tak begitu ia hiraukan tapi luka di hati begitu menyesakkan. Melihat tokonya rusak parah, mobilnya, dan rumahnya yang hangus menambah sarat penderitaan yang ia rasakan. Begitu kejam dan bengis mereka menghancurkan apa yang ada seakan tak ada hari esok, membunuh, dan membakar seakan jadi hal wajar di sini, aparat entah itu polisi pun tentara nampak enggan terlibat, mereka malah sibuk berlindung pada mobil-mobil besi yang mengangkut mereka ke sini.
Di ujung bandara terlihat Mei Ra membawa satu koper penuh dan sebuah tas kecil, ia tampak sibuk membuat panggilan di telepon, ini adalah hari kepulangannya setelah hampir lima tahun ia belajar di Oxford University. Puluhan kali ia mencoba melakukan panggilan untuk ayahnya agar menjemputnya tetapi selalu saja dialihkan, “benar benar papi ini” ucapnya menggerutu dalam hati. Mei Ra nampak bingung dan gelisah, setelah hampir sejam lamanya ia menunggu Mei Ra memutuskan untuk menaiki taksi saja, tak apa lah bila papi, mami serta adik perempuannya Mei Ri terkejut nanti melihat kepulangnnya salah sendiri papinya tak mengangkat teleponnya, benar-benar sok sibuk papinya itu, sambil tertawa Mei Ra membayangkan wajah-wajah terkejut dari keluarganya. Rindu sekali Mei Ra pada mereka, rindu pada kehangatan dan kebersamaan mereka.
Tangan Mei Ra berayun mencoba untuk menghentikan taksi namun nihil, hampir semua taksi yang coba ingin ia tumpangi selalu lewat begitu saja, Mei Ra mengayunkan lagi tangannya berharap Tuhan mau membantunya kali ini, benar saja ada satu taksi yang akhirnya berhenti, dengan cepat ia masuk dan menyebutkan alamat rumahnya seraya mengetik pesan untuk papinya bahwa ia tidak apa-apa, takut-takut papinya khawatir sebab Mei Ra tadi meneleponnya hampir dua puluh kali.
Begitu selesai mengetik Mei Ra terkejut melihat jalanan sekitar ibukota nampak sedikit semrawut, bangunan-bangunan hancur, mobil-mobil terbakar habis, ya Tuhan apa yang sebenarnya terjadi di kotaku ini batin Mei Ra cemas akan keadaan keluarganya. Semakin menuju arah rumahnya kerusakan pada bangunan-bangunan dan kendaraan pribadi semakin parah bahkan ia melihat seorang perempuan tengah digauli oleh preman-preman. Jujur saja Mei Ra takut, ia tanpa sadar mendekap erat tasnya. Untung saja tinggal belokan depan sudah sampai. Tapi takdir berkehendak lain lima orang preman berdiri di tengah jalan mencoba untuk menghentikan taksi yang tengah Mei Ra naiki.
Dengan kasar preman-preman itu menggedor dan membuka pintu, terang saja Mei Ra takut melihat badan-badan besar yang terlihat ingin menerkam Mei Ra hidup-hidup. Seperti melihat mangsa empuk yang sayang bila dilewatkan, preman-preman yang tak beradab menggoda Mei Ra. Bukan hanya lewat perkataan namun juga dengan aksi yang bringas. Pak sopir yang mengantarkan Mei Ra sudah hilang lari kalang kabut, tinggal Mei Ra yang malang, sendiri mengahadapi lima preman. Mei Ra meringkuk di pojok tempat duduk penumpang, nampaknya semua pintu dan jendela telah dikunci otomatis. Mei Ra kebingungan, rasa takut menggerayangi dirinya. Mei Ra memeluk tasnya erat seakan menutupi dirinya.
Salah satu preman dengan sigap memegang tangan Mei Ra, memenjarakan ia dalam kungkungan kuat preman itu, Mei Ra semakin takut, ia menjerit dengan keras. Air mata Mei Ra keluar dengan deras ia menolak segala perlakuan yang diperbuat para preman ini. Ia berharap dalam hati agar ada seseorang yang mendengar jeritannya lalu menolongnya, “Tuhan bantu aku!” ratap Mei Ra dalam hati.
Nasi sudah menjadi bubur Mei Ra yang malang sudah digarap oleh lima preman secara bergilir di dalam mobil taksi yang ia tumpangi, rasanya ia ingin sekali mati, ia malu. Mei Ra merasa tak pantas hidup, permata yang ia jaga selama 25 tahun ini lenyap diambil secara paksa oleh para preman secara tak beradap. Mereka menurunkan Mei Ra di gang pinggir jalan yang sepi. Suasana sepi mencekam hanya lolongan anjing yang bisa Mei Ra dengar. Tangis Mei Ra pun pecah, memecah kegemingan yang ada. Ia menangis meraung-raung. Mei Ra benci dirinya sendiri, apa masih sanggup ia menemui keluarganya dengan keadaan sepeti ini?.




BAB 2 : Oase di gurun pasir

Mula-mula krisis besar terjadi pada tahun 1997 di kawasan Asia Timur. Negara demi negara di kawasan asia mau tak mau diterpanya juga. Indonesia pun tidak bisa menghindar dari krisis yang terjadi, malahan Indonesia termasuk dari tiga negara yang mengalami krisis terparah. Nilai rupiah yang kian turun menjauhi dollar seakan-akan membunuh masyarakat karena harga bahan pokok melejit naik.
Kebencian masyarakat Indonesia terhadap etnis Tionghoa sudah terbentuk sejak lama, bahkan sebelum Belanda datang ke Indonesia.  Bukan tanpa alasan,  namun adanya penggolongan masyarakat yang dibuat Belanda adalah pemicu utamanya. Empat ratus tahun yang lalu penduduk Tionghoa  yang ada di Indonesia dengan masyarakat pribumi memiliki kedudukan yang setara yaitu sebagai rekan dagang, namun hubungan tersebut berubah setelah datangnya VOC . Golongan etnis Tionghoa menduduki tingkat kedua bersama para pedagang asing setelah Belanda. Golongan Tionghoa ditempatkan secara istimewa oleh Belanda sebagai rekan bisinisnya. Golongan ini menjadi kelompok penarik pajak bagi masyarakat pribumi yang berada di bawahnya. Hal ini memunculkan setitik rasa benci yang kian bertambah setiap harinya. 
Krisis besar yang sedang berkecamuk dimanfaatkan oleh oknum yang masih menyimpan dendam terhadap Tionghoa. Mereka mulai menyebarkan rumor abu-abu yang menutup mata para pribumi. Rumor etnis Tionghoa yang melarikan bahan pokok ke luar negeri guna ditimbun, sampai rumor etnis Tionghoa adalah orang di balik rezim Soeharto. Stigmasisasi negatif yang bermunculan pun menyulut kemarahan pribumi untuk berlaku diskriminatif.
Oknum-oknum pribumi mulai menjarah toko-toko dan rumah para etnis Tionghoa, merampas dan membakar apa saja yang ditemuinya. Tak terhindarkan pula, perempuan Tionghoa juga menjadi sasaran keganasan pembalasan dendam. Perempuan Tionghoa diangggap pantas mendapatkan perlakuan tersebut, karena  Tionghoa dapat dikatakan sebagai triple minority yaitu satu, mereka minoritas, dua, mereka beragama non islam dan tiga, mereka perempuan Tionghoa. Bukan hanya para gadis Tionghoa, namun juga wanita-wanita Tionghoa yang sudah lanjut usia. Permasalahan tidak terletak pada umur mereka, tapi karena mereka adalah perempuan Tionghoa.
***
Baju yang digunakan Mei Ra sudah tak berbentuk, compang camping. Rambutnya berantakan, luka-luka di seluruh kulit putihnya nampak tak ia hiraukan. Mei Ra berjalan menuju rumahnya dengan tas yang selalu ia peluk menutupi dadanya. Mei Ra sudah seperti orang gila, menangis dan berteriak-teriak ketika ada orang yang menanyakan keadaannya, untung saja Mei Ra masih sedikit waras dengan mengingat jalan menuju rumahnya. Tinggal di ujung gang rumah Mei Ra berada, setidaknya jika di dalam rumah ia akan merasa tenang dan terlindungi.
Dengan gontai Mei Ra berjalan menyusur jalan berharap ia tidak akan diusir dari rumahnya karena rupanya yang kini tidak beraturan. Betapa terkejutnya Mei Ra, rasanya ia lemas, tulang di kakinya seperti melumer. Ia terduduk bersimpuh di pinggir jalan “Cobaan apa lagi ini Tuhan” jeritnya dalam hati.  
Rumah yang ditujunya dengan harapan mendapat perlindungan sudah hangus, toko kelontong sang ayah pun sudah hancur tak tersisa, lalu kemana semua keluarganya pergi. Kemana papi dan maminya, kemana Mei Ri adik kesayangannya. Apalah mereka juga mendapat perlakuan yang sama seperti yang Mei Ra terima, banyak pertanyaan yang berkecamuk dipikiran Mei Ra.
Mei Ra merasa frustasi, kemana ia harus mencari keluarganya. Dalam keadaan seperti ini kemana keluarganya bersembunyi? Apakah mereka masih hidup? Dalam keadaan seperti ini Mei Ra tak mampu berpikir lagi, ia kehilangan pikirannya. Rasanya akalnya sudah semakin tipis. Mei Ra mengusap pipinya kasar menghilangkan buliran air matanya yang jatuh di pipi, ia menyandarkan punggungnya didekat pintu yabg sudah hangus, seolah olah hanya tembok inilah yang bisa menjadi sandarannya. Semua memori tentang rumah ini berputar dalam ingatannya. Seperti oase digurun pasir, ia mengaharapkan hal yang tidak mungkin bisa ia temui lagi.
***
                “Keadaan semakin kacau, pi” ujar Mei Ri pada ayahnya yang sedang melihat berita tentang suasana Jakarta. “Papi sudah tidak peduli lagi, yang penting kalian aman. Uang bisa dicari tapi kesehatan dan kehangatan keluarga mahal harganya”.  Semuanya nampak bahagia dapat berkumpul di sini, meski rumah yang kini keluarga Koh Liong tinggali cukup sempit bahkan hanya ada satu kamar dan dapur tak layak, namun tidak begitu jadi masalah untuk keluarga Koh Liong.
                 “Pi, ini sudah seminggu kita tidak mengabari Mei Ra. Sejak demo kemarin Mami merasakan perasaan buruk pada Mei Ra”
“Aku sampai lupa, biarkan sajalah dulu, Mei Ra aman di Inggris. Jika kita memberi tahu keadaan kita nanti Mei Ra malah  jadi cemas. Sebentar lagi kelulusannya. Biarkan dia fokus pada skripsinya"
Hari sudah semakin malam Mei Ra yang malang tengah sibuk mencari pelataran toko kosong, Mei Ra sudah mempersiapkan dua lembar kardus sebagai alas untuknya tidur malam ini. Mei Ra memilih pelataran toko emas Cik Ling Ling sebagai tempatnya tidur. Tidak terlalu luas namun cukuplah untuk dirinya, di sini Mei Ra sedikit merasa aman karena ada pagar kecil di samping kanan dan kiri toko ini. Sekarang toko ini seperti toko berhantu, tampak kosong dan gosong. Terlihat sangat berantakan jelas sekali ini pasti ulah mereka yang mengaku pribumi tapi tidak punya akal dan adab.
Mei Ra bingung apa yang sebenarnya terjadi, di kepalanya berkecamuk. Banyak pertanyaan yang mengaggu otak kecil Mei Ra. Salah satunya adalah mengapa hal ini terjadi, ada apa dengan negara ini? Apa Soeharto tidak memerintah dengan baik? Kenapa para polisi dan tentara hanya diam saat banyak kerusakan yang ditimbulkan, saat banyak pelecehan, saat banyak korban berjatuhan, kemana mereka. Mengapaa Sang Jendral besar yang kini diangkat menjadi presiden hanya diam saja, apa dia dan aparat negara buta? Yang benar saja mereka hanya pura-pura buta dan bisu.

BAB 3 : TUMBAL REFORMASI
“Bung, hari ini kita demo di depan universitas saja”, ujar Teto di depan basecamp mapala Universitas Trisakti.
“Jangan To, kau tahu kan jika aku takut. Kau tidak ingat kemarin Neno hilang setelah demo?”, jawab Shakty dengan nada takut.
“Kau jangan jadi penakut dong Ty, mungkin  saja dia sembunyi”
“Gila ya kau To, kita juga tahu To, gimana sadisnya pemerintah menyingkirkan orang-orang yang mereka anggap jadi masalah”, lanjut Shakty
“Kawan-kawan, aku juga tahu kalau pemerintah itu licik. Tapi apa kau tidak ingin merubah dan melengserkan mereka yang santai-santai di kursi Presiden tanpa mengurus rakyatnya yang kini sedang bermasalah?”  ucap Teto berapi-api.
“Saat ini kita sedang perang melawan diri kita sendiri, kau tidak sadar? Pemimpin seperti mereka itu tidak pantas ditakuti. Kau mau kita seperti ini terus? Egois sekali kau.  Kau tidak mengertikan, bagaimana perasaan melihat adik sendiri diperkosa di depan mata dan bunuh diri karena beban mental? Kalian tidak akan paham bagaimana  rasanya karena kalian tidak merasakannya. Aku hanya ingin tidak ada lagi korban layaknya adikku. Aku tau kita itu minoritas tapi bukan untuk diinjak-injak seperti ini, kita sama-sama manusia, bukan hewan. Mereka yang bisu tidak pantas menjadi presiden”. sambungnya, terlihat nyalang pada tatapannya.
Teto juga seorang Tionghoa, ia merasakan sakit dan sadisnya perlakuan pribumi. Omong kosong, siapa sebenarnya yang disebut warga negara Indonesia? Siapa orang-orang pribumi? Apa predikat warga negara Indonesia hanya untuk pribumi? Lantas siapa pribumi itu? Hanya orang Jawa yang licik, orang-orang Jawa yang bringas sibuk menghancurkan kaum Tionghoa seperti Teto? Bukankah Soekarno bernah bilang bahwa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika lalu kenapa orang orang pribumi menghancurkan orang Tionghoa dengan bringas padahal isu yang berkembang sangat tidak jelas dan tidak masuk akal. Apa orang orang Jawa begitu bodoh hingga dapat termakan omongan seperti itu. Teto tidak habis pikir.
Teto dan keluarganya juga korban atas kerusuhan Mei 1998 ini. Ayahnya meninggal karena melindungi adiknya yang mendapat pelecehan, kepalanya dipukul dengan balok kayu. Adiknya juga mati bunuh diri, Trissa adiknya memotong urat nadinya sendiri didepan mata meski Teto tahu tidak semua orang Jawa seperti mereka, tapi tetap saja Teto benci mereka. Kini Teto hanya punya mamanya yang tinggal di kontrakkan kecil. Mengingat semua aset yang dimiliki keluarga Teto rusak bahkan hangus terbakar termasuk rumahnya. Padahal Papa Teto adalah pengusaha beras. Kini Teto harus membangun semuanya dari awal, tanggung jawab mencari nafkah kini ada di punggung Teto.
Ibarat kata, Gajah sama gajah berjuang, pelanduk mati di tengah-tengah. Etnis Tionghoa yang berada di Indonesia yang sama-sama mencari makan, kehidupan yang aman dan tentram dijadikan korban kerusuhan. Mereka dijadikan sasaran amukan dan pelampiasan dendam. Bukankah ini bisa disebut Tionghoa tumbal reformasi?.
***
Cahaya matahari menusuk mata Mei Ra, Mei Ra mengerjapkan matanya berulang kali. Berharap semua yang terjadi padanya hanya mimpi dan ketika ia terbangun ia masih berada di apartemennya di Inggris. Nihil, semua yang ia harapkan hanya oase. Ia masih di depan toko emas, tidur beralaskan kardus bekas air mineral botolan. Mei Ra menangis meratapi nasibnya, terbuang, dilecehkan, tak dianggap, sampah. Mei Ra menegakkan tubuhnya, ia mulai berjalan meninggalkan pelataran toko dan menyisir jalan tanpa alas kaki.
Sepanjang jalan, Mei Ra menggenggam erat pakainnya, ketika ia melewati gang-gang kecil, genggaman di pakaiannya semakin erat. Genggaman itu menyalurkan rasa takutnya karena bayangan kejadian yang pelecehaan yang ia terima terus berputar di kepalanya. Ia benar-benar takut jika kejadian itu akan berulang kepadanya karena ia sedang sendiri. Tanpa disadari langkah kaki Mei Ra telah mencapai gang Universitas Trisakti, tanpa peduli ia melengos melewati basecamp aktivis yang nampak ramai dihuni para laki-laki. Pikiran yang berkecamuk di kepala Mei Ra membuatnya tak sadar akan keberadaan orang-orang disekitarnya, ia hanya berjalan lurus dengan pandangan kosong mengarah ke depan.
Sepasang mata mengawasi langkah Mei Ra. Setengah kasian dan jijik melihat keadaan dan penampilan Mei Ra. Tapi semua perasaan itu ditepisnya, ia berjalan mendekati Mei Ra  dengan niatan menanyakan apa yang sedang menimpa Mei Ra
“Siapa kamu? Mengapa kamu berada di daerah ini dengan pakaian seperti itu?”, ucap lelaki itu dengan kedua tangannya berada di pinggang.
Mei Ra yang tiba-tiba saja dikagetkan dengan teguran seorang laki-laki dari arah belakang menyadarkannya dari lamunan. Langkahnya seketika berhenti, tubuhnya menjadi tegang dan mulai berkeringat dingin. Ingatan tentang kejadian ketika ia digoda dan dilecehkan oleh lima preman di dalam taksi tiba-tiba saja muncul dikepalanya. Tanpa sopan-santun perasaan gelisah hadir dan mulai menghantuinya. Suara laki-laki itu membuat ia ingat tentang kejadian lalu. Mei Ra merasa frustasi. Ia berbalik dan mulai melangkah mundur. Kepalanya tiba-tiba menjadi sangat sakit. Kedua tangannya yang bebas mengacak-acak rambutnya asal.
“Jangan mendekat, pergi, pergi, dari sini” teriak Mei Ra ketakutan.
“Mbak, mbak kenapa?” suara lelaki itu keluar dari mulutnya dengan nada khawatir.
Mei Ra semakin tidak mengerti, ketika suara lelaki itu masuk ke telinganya rasa sakit di kepalanya semakin bertambah dua kali lipat. Ia benar-benar tidak tahu mengapa. Dengan cepat ia berbalik dan mulai berlari dengan kaki polosnya menjauhi laki-laki tersebut.   
Brukk…
“Ada apa mbak?” ucap perempuan yang ditabrak Mei Ra karena saat berlari ia tak melihat ke depan.
"Tolong.. Tolang saya, saya takut. Saya ingin pulang, saya takut , tolong saya..., " suara Mei Ra sedikit bergetar karena ketakutan.   
“Jangan takut mbak, ada saya di sini, saya Nadia, mbak tenang dulu”.  Ucap perempuan yang ditabrak Mei Ra tadi. 
Mei Ra bersembunyi dibalik tubuh perempuan itu. Melihat lelaki yang mengejarnya mendekat, Mei Ra kembali berteriak dan mencengkram pinggang Nadia dengan kuat. Melihat gelagat Mei Ra, Nadia ikut menoleh pada laki-laki yang sedang mengejar Mei Ra. Nadia mengangkat tangan kanan namun pandangannya tetap pada Mei Ra, seperti memberi intruksi berhenti namun tanpa suara. Isyarat itu dimengerti oleh laki-laki yang mengejar Mei Ra, ia langsung menyingkir dengan gerakan kaki seribu.
Melihat Mei Ra yang ketakutan saat melihat laki-laki, Nadia dapat menyimpulkan bahwa perempuan yang tengah memeluknya kini trauma pada laki laki entah karena ia pernah disakiti atau bagian dari korban kerusuhan ini. Nadia tidak pernah menutup mata bila menyangkut kerusuhan, bahkan ia terjun langsung ke lapangan untuk melindungi sesamanya dari pelecehan. Ia bahkan tak segan segan menghajar preman saat melihat wanita yang tengah ditelanjangi oleh sekelompok orang.
Bukan, Nadia bukan seorang Tionghoa. Ia orang Sunda asli kedua orang tuanya adalah orang Bandung. Nadia juga tidak membenci orang Tionghoa seperti kawan-kawannya yang lain.  Ia menjadi relawan karena hatinya tergerak begitu melihat banyak wanita yang menjadi korban secara fisik maupun psikis akibat krisis besar di Indonesia. Sebenarnya yang menjadi korban bukan hanya dari ras Tionghoa saja, kawannya seorang wanita dari Makassar pun juga mengalami hal serupa. Miris hanya itu kata yang agaknya dapat mewakili segala perasaan Nadia.
Saat merasa cengkraman Mei Ra pada pinggangnya mengudar, Nadia menanyakan nama dan alamatnya. Namun bukan jawaban yang Nadia dapat melainkan tangis dan amukan. Nadia paham dengan situasi seperti ini. Dengan sabar Nadia menerima setiap remasan Mei Ra pada lengannya.
Akhirnya setelah lama Mei Ra menangis ia mulai membuka suara lirih,          
“Mei Ra” singkat namun dapat mengingatkan Nadia pada seseorang, kawan lamanya dulu. Dulu sekali saat nadia masih kecil ia sering bermain dengan teman kecilnya yang bernama Mei Ra. Ia sangat ingat saat jatuh dari sepeda, lutut dan pelipisnya tergores dan mengalirkan darah segar, Mei Ra lah yang menolongnya meski Mei Ra dan Nadia memiliki derajat yang berbeda namun Mei Ra kecil tetap mau berteman dengan Nadia.
            Lamunannya terhenti saat melihat Mei Ra berjalan melewatinya, dengan gusar Nadia mengejar Mei Ra,
"Ini aku Mei, Nadia. " Mei Ra tak menganggap, ia tetap berjalan dengan pandangan kosong.
"Kamu kenapa Mei? " tanya Nadia menuntut kejelasan pasal diri Mei Ra.
"Aku antar kamu pulang, aku tau dimana rumah keluargamu yang baru” jelas Nadia sambil memegang tangan Mei Ra mencegahnya untuk pergi lebih jauh lagi. Mendengar Nadia berbicara bahwa ia tahu dimana keluarganya berada,  Mei Ra kembali dihampiri rasa gelisah, ia menutup telinganya, menjambak rambutnya dengan kuat terlihat jelas dari buku buku jarinya. Mei Ra berteriak, dan mengamu, apa yang ada di depannya ia rusak dan  ia hancurkan. Melihat Mei Ra yang sedang mengamuk, Nadia mencoba untuk mendekap Mei Ra kembali, mencoba menenangkan Mei Ra dengan kasih lembutnya.
“Ayo aku antarkan” Nadia menuntun Mei Ra dengan sabar.
***
           Nadia mengetuk pintu pelan, berharap ada orang di dalam. Suara pintu terbuka mengagetkan Mei Ra. Liana terpaku tanpa suara pandangannya terkunci pada Mei Ra entah apa yang terjadi pada anak pertamanya ini. Pikirannya berkecamuk melihat kondisi Mei Ra air mata mulai mengalir dari sudut mata Liana. “Sore cik, saya menemukan Mei Ra di depan universitas” ujar Nadia untuk memecah keheningan diantara mereka. Liana tak sanggup lagi  ia menarik Mei Ra dalam pelukannya. Perasaan Liana tak dapat diungkapkan hanya tangisnya yang bisa menjelaskan bagaimana perasaannya kini. Liana mencoba mempersilahkan Nadia masuk, namun bunyi panggilan telepon di genggaman Nadia berbunyi dan menghentikan langkah Nadia untuk masuk ke dalam rumah.
“Saya kesana sekarang” tukas Nadia seraya menutup panggilannya.
“Maaf cik, saya tidak bisa mampir. Besok saya akan datang kembali bersama teman saya seorang psikolog” ucap Nadia bersungguh sungguh sambil memegang tangan Liana, dibalas anggukan dan senyuman Liana.                        

BAB 4: UCAPAN LELAKI

Selepas kepergian Nadia yang dilakukan Mei Ra hanya berdiam di kamar, mengunci diri dari dunia luar. Pandangannya lurus ke bawah dengan tangan memeluk lutut. Beberapa kali Liana dan Mei Ri masuk pun tidak sedikitpun mengusik Mei Ra. Namun berbeda jika Koh Liong ayahnya yang masuk, melihat kepala Koh Liong yang mendongak di depan pintu berusaha masuk saja sudah membuat Mei Ra histeris. Teriakan, jeritan, tangisan sudah didengar oleh suami istri ini.
Tadi saat Koh Liong pulang kerumah ia terkejut melihat anak dan istrinya menangis, ketika ia bertanya mengapa, istrinya hanya menyebut nama anak pertamanya sambil menunjuk kamar. Dengan perasaan yang tak karuan Koh Liong membuka pintu, ketika melihat Mei Ra di sudut kamar timbul ide di kepala Koh Liong. Maksud hati ingin mengejutkan Mei Ra dan melepas semua kerinduan di hati pada anak tertuanya, malah ia yang terkejut karena mendapat lemparan bantal dan teriakan memekik telinga dari Mei Ra. Awalnya Koh Liong berusaha untuk menenangkan Mei Ra namun ia malah dihadiahi sebuah gigitan ditangan kanannya, untung saja ada Mei Ri yang memisahkan mereka dan Liana yang menenangkan Mei Ra hingga ia tertidur dengan pulas.
Liana menceritakan semuanya pada Koh Liong, tentang bagaimana Mei Ra yang diantar Nadia pulang serta amukan-amukan kecil hingga besar Mei Ra ketika mendengar dan melihat dari kejauhan saja. Berdasarkan cerita dari Liana dan pengelihatannya tadi, cukup rasanya bagi Koh Liong untuk menjauh dari anaknya sementara waktu, meski hati kecilnya menolak.
Malam sudah semakin larut namun Koh Liong tidak bisa menutup matanya, pikirannya berkeliaran menduga-duga apa yang terjadi pada anak kesayangannya. Malang kian nasib Mei Ra, tidak terasa butiran air mata jatuh dari pelupuk mata tuanya. Rasanya tidak sanggup lagi bila melihat keadaan anaknya yang seperti ini, orang tua mana yang tidak terpukul ketika lama tak melihat anak yang ia cintai karena melanjutkan pendidikan tiba tiba pulang dengan keadaan yang bisa dibilang gila.
“Apa yang sudah terjadi pada Mei Ra sebenarnya”? Batin Koh Liong di hatinya.  
Koh liong menurunkan kakinya dari ranjang sepelan mungkin agar tidak membangunkan istrinya, ia tau bahwa Liana kelelahan saat menidurkan Mei Ra tadi. Koh Liong membuka pintu, ia sengaja melepas alas kakinya agar tidak menimbulkan suara, berjalan pelan hingga didepan kamar Mei Ra. Dengan perasaan was-was Koh Liong membuka pintu sepelan mungkin hingga tidak menimbulkan suara, perasaannya tenang ketika melihat Mei Ra yang sudah tertidur pulas. Koh Liong mengusap kepala Mei Ra pelan lalu mengecupnya. Betapa hancur perasaanya kini, rasanya ia telah gagal menjadi seorang ayah. Bila Tuhan mengijinkan rasanya ia ingin menggantikan Mei Ra. Air matanya kembali menetes, ia selimuti Mei Ra dengan sayang agar udara dingin tidak menusuk tubuh Mei Ra. Melihat Mei Ra mulai terusik oleh Koh Liong, ia memutuskan untuk meninggalkan kamar Mei Ra menutup rapat pintu kamar dan bergegas kembali ke kamarnya. Perasaanya kini sudah mulai tenang.
Matahari sudah menunjukkan sinar fajarnya, pagi ini tidak seperti pagi biasanya lebih suram dan gelap, setidaknya itu yang dirasakan Koh Liong saat melihat Mei Ra yang duduk memeluk lututnya sendiri di pojok kamar, beberapa kali Mei Ri datang dengan membawa nampan berisi sarapan untuk Mei Ra berulang kali juga nampan itu dilempar hingga teronggok di ujung ruangan. Rasanya kuping Koh Liong sudah terasa panas mendengar teriakan dan jeritan Mei Ra.
Lamunan Koh Liong terhenti saat mendengar suara ketukan pintu dari luar, Koh Liong hendak berdiri namun dicegah oleh Mei Ri anak bungsunya, dan berkata biar ia saja yang membuka. Suara di belakang agaknya mulai mengusik Koh Liong hingga ia menoleh, dan mendapati seorang laki-laki seumuran Mei Ra
"Selamat pagi om, saya Dana, Sadana”
“Selamat pagi juga nak, saya sudah tahu perihal kedatanganmu, ayo masuk” ujar Koh Liong sambil menunjukan kamar Mei Ra
“Terimakasih pak” dibalas anggukan oleh Koh Liong.
Dana berdiri tepat di depan pintu kamar Mei Ra yang tertutup, ia mengetuk pelan pintu tersebut dan mulai berbicara,
“Selamat pagi, Mei Ra. Saya Dana seorang psikolog, saya tidak ada niat jahat dengan kamu tta….” Dana berhenti berbicara karena suara mengejutkan dari dalam kamar.
Di dalam kamar Mei Ra tengah mengamuk, suara Dana yang berasal dari balik pintu berputar di kepala Mei Ra dan mengingatkannya kembali pada suara preman yang telah menodainya, ia benci suara ini. Rasa takut berkemelut di dadanya, ia melempar semua benda yang ada di depannya. Meski suara di luar mengintruksinya untuk tenang, tetap saja ia merasakan gelisah dan takut yang berlebihan Mei Ra benci ini semua. Mei Ra benci hidupnya.
“Baiklah saya akan pergi” ujar Dana mengakhiri amukan Mei Ra pagi ini.
“Duduk disini dulu nak,” ujar Koh Liong dari teras depan rumah. Beliau duduk di kursi menjalin ditemani secangkir teh dan sepiring kue lapis.
“Maaf pak saya belum mampu membawa Mei Ra keluar kamar”
“Tidak apa-apa nak, saya mengerti keadaanya” suara Koh Liong terdengar pilu.
“Maaf pak bila saya mengatakan ini, ini masih analisis saya.” ragu ragu Dana mengeluarkan suara.
“Katakan saja nak, tidak apa-apa,” Koh Liong memburu jawaban dari Dana.
“Dari hasil analisis saya, ada indikasi bahwa Mei Ra adalah korban pelecehan, dari cara Mei Ra menanggapi setiap ucapan saya, rasanya cukup bagi saya untuk menyimpulkan bagaimana pelecehan itu menimbulkan trauma yang mendalam” air mata luruh dari mata tua Koh Liong, wajah tuanya basah. Hatinya bagai diremas. Ia gagal menjadi ayah.
“Lalu bagaimana?” pasrah pada takdir Tuhan hanya itu yang bisa dilakukan koh liong sekarang.
“Mei Ra bisa sembuh pak, kita yang disekitarnya harus bisa menguatkannya, kita tunjukkan pada Mei Ra bahwa kita menerimanya terlepas dari traumanya pak”
“Terimasih banyak nak, bapak berhutang banyak padamu” ucap Koh Liong seraya menjabat tangan Dana.
“Tidak pak, kita sesama manusia harusnya memang saling tolong-menolong. Hari sudah siang om, saya mohon undur diri dulu. Permisi pak”
“Iya nak, hati hati”
BAB 5 : HASUTAN
            Mei Ra tersadar dari lamunan panjang, serpihan memori hinggap dalam ingatannya. Ia melangkah dengan menyeret kakinya menuju kamar mandi. Ia berdiri di bawah guyuran air,menggosok kulit putihnya dengan kasar, berharap gosokannya dapat menghilangkan noda di tubuhnya. Air   matanya mengucur deras selaras dengan derasnya aliran air dari shower.
            Cermin besar di depan wastafel memantulkan wajah kacau Mei Ra. Ingatan itu kembali, bayangan pada cermin seakan mengolok dirinya. Melontarkan kata-kata kasar yang terus berdengung di telinganya, Mei Ra takut rasa gelisah menggerayangi dirinya. Nyatanya mandipun tak bisa membersihkan semua noda yang ia terima, mereka tetap menempel pada diri Mei Ra seperti perangko pada amplop surat yang menempel erat tak bisa dilepas            Piiaaarrrr……
            Bayangan yang mengejeknya kini telah hancur. Mei Ra sudah tidak tahan lagi, rasanya kepalanya sudah mau pecah. Beban di pundaknya tak sanggup ia pikul lagi. Ia hanya akan mempermalukan keluarganya, ia adalah noda yang harus disingkirkan dari nama baik keluarga Koh Liong.
            Hasutan setan agaknya sudah merasuki pikiran Mei Ra, matanya menggelap saat menangkap serpihan kaca runcing yang berada tepat di bawah kakinya. Kakinya bersimpuh di depan pintu kamar mandi. Mei Ra mengusap pipinya dengan sangat amat kasar menghilangakan genangan air mata yang mengalir dari mata sipitnya.
            Gedoran pintu semakin keras, teriakan demi teriakan juga tertangkap indra pendengaran Mei Ra namun tak diindahkannya, tangan mulusnya hinggap pada serpihan di kakinya, matanya menatap tajam pecahan kaca. Mungkin bila ia mati tidak akan ada noda pada keluarganya, senyumnya mengembang. Ini yang terbaik. Serpihan kaca itu semakin dekat pada nadi di lengan tangannya.
Brakk…
            Betapa terkejutnya Koh Liong saat mendobrak pintu melihat keadaan Mei Ra dengan baju basah kuyup dan darah segar yang mengalir dari pergelangan tangan Mei Ra. Dengan sigap Koh Liong membopong tubuh lemah Mei Ra, berulang kali Koh Liong meyakinkan dirinya bahwa Mei Ra akan baik baik saja.
            Dengan sigap Koh Liong membopong tubuh ringkih Mei Ra seraya berdoa pada Tuhan semoga putrinya baik baik saja. Liana dan Mei Ri terkejut setengah mati melihat Mei Ra wajahnya kini sudah memucat, buru-buru ia menelepon seorang dokter langganannya untuk segera kemari.
“Bagaimana dok?” tanya Koh Liong pada dokter selepas memeriksa Mei Ra.
“Untung saja tidak sampai ke pembuluh darah pak, goresan itu akan cepat sembuh, saya sudah menulis resep agar tidak terjadi pembengkakan dan mengurangi nyeri. Obatnya diminum sehari dua kali pak. Saya pamit dulu” Koh Liong mengantarkan sang dokter hingga ke depan teras, hatinya tenang mendengar tidak ada hal serius pada Mei Ra.
Di dalam kamar Mei Ra duduk terdiam, terlihat Mei Ri selalu memelukinya dan Liana yang terus mengusap rambut Mei Ra dengan sayang.
Plaakk..
    Tamparan keras yang diberikan Koh Liong pada Mei Ra mengagetkan seluruh isi kamar, suaranya seperti menggema. Mei Ra yang terkejut mendapat hadiah dari sang papi meneteskan air matanya, meski ia mendengar Liana membentak papinya berulang kali, agaknya tidak didengarkan Koh Liong
Mei Ra mendongakkan wajahnya ia lihat wajah tua papinya yang kini terbalut lelah, ia juga melihat gumpalan air mata dari sudut mata papinya yang tertutupi kacamata.
“Menurutmu yang kamu lakukan itu benar Ra?” suara sendu Koh Liong menggambarkan secara jelas bagaimana perasaannya kini.
“Jawab papi” air matanya lolos dari bingkai kacamata tua itu
“Apa salah Papi padamu ra? Katakan apa salah Papi” air mata Mei Ra sudah mengucur deras.
“Apa ini balasan untuk papi yang telah membesarkan mu? Apa ini cita citamu untuk papi? Agar papi bisa membakar jasadmu ra?” suara koh liong serak akibat airmata yang terus mengalir
“Aku ini papi mu Ra, ayahmu. Papi sangat menyayangimu, Papi tidak peduli bagaimana keadaanmu. Papi tetap sayang Mei Ra” tukas papinya sambil mendudukan diri di sebelah Mei Ra, tangannya terayun mengusap lembut rambut Mei Ra.
Pertahanan Mei Ra hancur, kesadarannya seakan kembali bersama tamparan yang diberikan pada Mei Ra.
“Papi” suara Mei Ra bergetar, mendengar itu Koh Liong langsung memeluk Mei Ra. Perasaanya lebih tenang sekarang. Mei Ra merasa tenang keluarga yang ia cintai masih mau menerimanya.



BAB 6 : SESI KEDUA
Pagi ini suasana lebih cerah dari sebelumnya, keadaan Mei Ra semakin membaik setiap harinya. Ia tak lagi takut pada Koh Liong. Meski Mei Ra tak seceria dulu tapi setidaknya bila diajak komunikasi ia mau menjawab. Koh Liong tidak menuntut lebih dari pada itu, kejadian berhari hari lalu membuat Koh Liong selalu siaga, sudah tidak ada cermin dan benda benda tajam dirumahnya kini.
Pagi ini Dana menjadwalkan untuk datang ke rumah Mei Ra, beberapa hari lalu ia mendengar bahwa Mei Ra mencoba untuk bunuh diri untung saja dapat digagalkan oleh ayahnya. Mei Ra yang malang ujar Dana dalam hati.
“Selamat pagi pak, bagaimana keadaannya?” suara Dana memecahkan lamunan koh liong
“Pagi juga nak Dana, semakin baik. Dia sudah mau memanggilku papi” dengan bangga Koh Liong menceritakannya
“Syukurlah, boleh saya lihat om?” tanya Dana
“Oohh, tentu. Mari mari” sambil mengantarkan Dana ke kamar Mei Ra
melihat kondisi Mei Ra yang semakin terawat membuat dana senang.
“Selamat pagi Mei Ra” mendengar suara dana rasa takut itu segara hadir
“Jangan takut, jangan takut. Saya tidak jahat. Saya temannya Nadia. Ingat?” mengingatkan Mei Ra
“Mei Ra, kamu harus menyingkirkan rasa takutmu, semuanya dapat kamu kendalikan Mei Ra, kendalikan semuanya dari sini” seraya menunjuk kepalanya agar Mei Ra dapat mengerti.
Setelah dua jam sesi kedua ini dilakukan, keadaan meira sepertinya sudah semakin baik, bahkan tadi ia mau diajak keluar , suatu keberhasilan yang cukup berat. Bahkan Mei Ra juga ikut mengantarkan Dana pulang dengan digandeng sang ayah.

****
Suasana di dalam rumahnya kini sangat sepi, bahkan sudah seperti rumah kosong tak berpenghuni, Pikiran Mei Ra melayang ke atas, ia bertanya-tanya dimanakah orang tuanya berada. Mei Ra mencoba untuk menelisik seisi rumahnya, namun nihil tak ada orang siapapun. Ia menuju pelataran rumah dan melihat suasana di luar. Terjadi kerusakan parah di depan rumahnya, pot-pot bunga pecah, bahkan jalanan dipenuhi ban karet yang dibakar. Meski begitu, tidak ada seorang pun yang terlihat. Mei Ra yang merasa gelisah dan kebingungan karena situasi yang tiba-tiba ini mencoba menyusuri jalanan, berharap akan menemui seseorang.
Langkah kaki Mei Ra kini mungkin sudah tak terhitung sebanyak apa ia berjalan, namun sepanjang itu ia berjalan ia tak juga menemui seorang pun.  Mendadak Mei Ra merasakan ada sesuatu yang aneh, seperti ada yang mengikuti dirinya. Ia menoleh ke belakang berulang kali memastikan semuanya baik-baik saja. Mei Ra mendengar iringan langkah kaki yang semakin mendekat pada dirinya, jelas sekali bahwa ada seseorang yang sedang mengikutinya. Dengan mengikuti intuisinya Mei Ra mempercepat langkahnya pada jalanan yang sepi. Namun tak disangka sejauh ia berjalan tanpa memperhatikan jalan membuatnya terpojok, langkahnya terhenti di sebuah gudang yang kosong.  Mei Ra masuk  ke dalam gudang itu dan mencoba untuk bersembunyi seperti tikus kecil, mengendap-endap diantara drum-drum besar. Menyelipkan dirinya agar orang yang mengikutinya tak bisa menemukannya.
Dreett.. Dreett..
Langkah itu semakin mendekat. Empat laki-laki berdiri tepat di samping Mei Ra, untung saja tidak ada pencahayaan yang baik di sini, hanya sinar bulan dan lampu jalan yang menembus jendela gudang kosong ini. Mei Ra boleh bernafas lega sekarang, empat laki-laki tersebut berjalan melewati Mei Ra tanpa mengetahui keberadaannya. Mei Ra hendak membalikkan tubuhnya untuk mencari jalan keluar dari gudang. Betapa ia terkejut empat laki-laki yang tadi melewatinya kini sudah berada di depannya. Ia berteriak dengan keras. Empat laki-laki itu menarik baju Mei Ra dengan kasar. Terlihat jelas dari sobekan-sobekan pada baju yang ia kenakan kini. Satu persatu mereka mencoba menyentuh Mei Ra.
Kini Mei Ra sudah terpojokkan sudut gudang, empat lelaki itu tertawa terbahak-bahak melihat keadaan Mei Ra dengan pakaian yang sudah tidak utuh. Robekan di bajunya sudah tidak dapat ia tutupi lagi. Ingin rasanya ia berteriak meminta tolong, namun suaranya seperti tercekat ditenggorokan, ia tak bisa mengeluarkan suaranya. Perasaan Mei Ra sudah kalut, air mata mulai mengucur deras dari pelupuk matanya. Empat lelaki yang tidak bisa Mei Ra hentikan itu mulai mendekat, tangan-tangan nakal mereka mulai menghinggapi tubuh Mei Ra, dan berhasil meloloskan sentuhan di atas tubuh Mei Ra.  
****
Mei Ra terbangun, dengan keadaan basah kuyup karena keringat yang membanjir. Wajahnya tampak pucat pasi. Mimpinya, rasanya seperti nyata bagaimana tangan-tangan bajingan yang menyentuhnya, tangan sialan yang merobek baju hingga menelanjanginya. Rasa takut dan gelisah merayapi hatinya. Perkataan preman-preman bajingan itu terngiang dikepalanya, berputar bersama suara Dana, kepalanya sakit, ini gila. Mei Ra benar-benar merasa gila saat ini.
Ia meloncat dari kasurnya, membuka pintu kamar. Air matanya mulai menetes, ia tidak bisa hidup seperti ini selamanya, menanggung malu dan trauma yang selalu menghantuinya. Bergegas ia keluar rumah, pelan-pelan agar tak seorangpun sadar akan kepergiannya.
Mei Ra berlari dengan kencang, tanpa alas kaki, persetan dengan jalanan aspal yang kasar dan kotor. Kepalanya kembali sakit, suara Dana yang menyuruhnya untuk mengendalikan dirinya sendiri dan suara preman yang melecehkannya dengan ucapan yang menjijikan bagi Mei Ra berkecamuk di kepalanya. Kakinya tertatih-tatih akibat lecet di kakinya. Air matanya terus mengalir, tangannya masih setia menjambak rambut dengan keras.
Di pinggir jembatan Mei Ra berhenti sejenak, berpegangan pada gagang besi. Pikirannya berkelana di luar batas, berandai-andai agaknya sudah terlampaui. Tangannya berpegangan kuat pada gagang jembatan, ia melihat ke bawah samar-samar akan tingginya. Tekadnya kini sudah bulat, tak ada artinya hidup bila harus menanggung malu, tak ada seorang pria pun yang mau dengan barang sisa sampah seperti dirinya. Selangkah dua langkah semakin dekat, pandangannya lurus ke depan, kakinya menaiki gagang pertama. Pegangannya semakin kuat saat semua kakinya sudah berada pada gagang yang kedua, sedikit lagi sampah ini akan pergi pikirnya dalam hati. Udara dingin bercampur angin yang kuat berhembus menyapu lengannya, sebentar perasaanya ragu sebentar ia tangguh. Tidak, tidak, ia memang harus mati, bayangan tentang mimpinya barusan berputar dalam anggannya. Pelan namun pasti ia melepas peganggannya pada tiang penyangga...

BAB 7 :TETO

Udara malam berlari dengan bebasnya menusuk-nusuk kulit mereka yang tidak terlapisi kain. Udara yang mungkin akan mematikan siapa saja yang dilewatinya karena rasa dingin yang dibawanya. Namun suasana yang masih berkecamuk dengan panasnya mengalahkan segala dinginnya udara. Pelataran gedung DPR/MPR yang dipenuhi ratusan hingga ribuan pemuda dari seluruh universitas di Indonesia, meminta penghentian rezim dan menuntut dilengserkannya sang pemimpin negara, Soeharto. Keputusan yang tidak juga segera diambil menyebabkan suasana panas ini tidak juga berkesudahan. Apalagi semenjak kematian tiga mahasiswa Universitas Trisakti menambah gelapnya suasana yang sedang terjadi .
Tanah kasar di depan gedung menjadi saksi bisu perjuangan ini, tanah yang dijadikan  alas tidur seluruh mahasiswa yang setia menunggu datangnya kabar baik dari sang pemimpin. Muak, hanya kata itu yang terlintas di benak Teto. Keputusan yang tidak kunjung datang semenjak tiga hari lalu membuat Teto muak. Pemerintah yang sangat lamban, pikirnya. Benar, Teto memang ikut andil dalam acara demonstrasi ini. Dan untuk malam ini ia merasa harus keluar dari kubangan ini dan mencari udara segar yang dapat menyegarkan pikirannya kembali. Ia memutuskan berjalan melewati kawan-kawannya dan mulai menjauhi pelataran gedung menuju jalanan sepi di tengah malam.
Matanya yang sipit menelisik sepanjang jalan yang ia lewati, melihat apa saja yang menurutnya indah di malam hari. Samar-samar udara yang berada di paru-parunya mulai tergantikan dengan udara baru yang lebih segar. Kaki Teto yang melangkah pasti terhenti seketika, matanya yang sipit melebar tatkala melihat seseorang sedang berdiri di pinggir jembatan. Ia menggelengkan kepalanya keras-keras, menyadarkan pikiranya. Jangan sampai seseorang yang berada tak jauh di depannya akan melakukan hal gila yang baru saja ia pikirkan. Namun, langkah demi langkah kaki mantap orang di depannya yang menaiki satu persatu gagang pembatas jembatan membuat seketika harapannya rubuh. Ini diluar dugaan
***
Bruukkk..       
Mei Ra terkejut setengah mati, seseorang memeluknya dari belakang, mencoba menggagalkan usahanya.  Mei Ra meronta agar dilepaskan namun tubuhnya malah diangkat dan dibanting turun di aspal. Mei Ra me

rasakan tubuhnya sedikit sakit karena bantingan yang cukup kasar. Ia lalu memandang marah orang yang menariknya. Ia terkejut saat melihat orang ini, orang yang pernah ia temui sekali di dekat kampus dulu. Orang yang belum sempat ia ketahui namanya.


“Kamu gila ya?” ujar lelaki itu, Mei Ra sedikit terkejut dengan bentakan itu. Seharusnya ia yang marah, bukan lelaki itu. Lelaki di depannya kini sedang menggosok kasar kepalanya sendiri.


“Kamu gila ya, sakit tau bunuh diri. Goblok banget jadi orang”cela lelaki itu pada Mei Ra.


“Kamu yang di kampus dulu kan, Saya tahu kamu, kamu Mei Ra kan? Saya Teto. Sekarang kamu akan saya antar pulang, pasti keluargamu sedang mencemaskanmu”, mendengar itu Mei Ra terdiam, ia kaku seakan tak bisa bergerak.


“Saya tidak mau pulang, saya malu. Saya sampah yang menjijikan”, tukas Mei Ra dengan air mata yang banjir di seluruh pipinya.


“Kamu ngomong apa sih? Masih setres? Hmm, gini ya. Kamu boleh menganggap ini omong kosong atau semacamnya, terserah kamu, tetapi yang terpenting kamu dengarkan perkataan saya ini” ujar Teto dengan nada otoriter khas ia saat berorasi di depan gedung MPR.


“Kamu masih beruntung, keluarga kamu lengkap. Di luar sana, banyak yang lebih menderita dari kamu. Termasuk saya, adik saya sudah meninggal, bunuh diri, di depan mata saya, ayah saya mati karena menolong adik saya yang dilecehkan beramai ramai” lanjut Teto dengan nada marah sambil menunjuk sekitarnya.


“Dengan kamu mati, masalah tidak akan selesai, mengerti? Keluargamu yang akan menanggung beban yang seharusnya tidak mereka tanggung. Jangan jadi orang yang egois, pikirkan juga keluarga kamu bukan hanya diri kamu sendiri”, perkataan Teto menohok Mei Ra begitu tajam dan mendalam masuk dalam relung hatinya.


“Saya anggap kamu mengerti, sekarang ayo pulang” Teto menarik paksa tangan Mei Ra dengan kuat agar tidak terlepas.


****


“Permisi” suara Teto di depan rumah Mei Ra. Koh Liong segera mendekat ke arah pintu setelah melihat bayangan putrinya yang tengah ia cari. Tadi pagi setelah ayam berkokok ia terbangun, Koh Liong sedikit curiga saat melihat kamar Mei Ra yang sedikit terbuka, begitu ia masuk ke dalam ia tak mendapati batang hidung Mei Ra di sana, dengan perasaan cemas ia berteriak-teriak hingga seisi rumah terbangun.


“Saya bertemu Mei Ra di jembatan gantung dekat gedung Trisakti, ia mencoba bunuh diri, namun selamatnya saya masih bisa mencapainya” Koh Liong sedikit terkejut mendengar pernyataan dari Teto, tenggorokannya tiba-tiba tercekat, ia tak dapat berkata-kata, hanya sebuah anggukan yang mampu ia berikan pada Teto


“Kalau begitu saya mohon undur diri dulu pak, permisi”, dengan sopan Teto mencium tangan Koh Liong sebagai rasa hormat.


“Terima kasih nak, hati hati”, akhirnya kata itu keluar juga dari bibir Koh Liong.


Koh Liong langsung memeluk Mei Ra dengan erat, seakan takut kehilangan Mei Ra untuk yang ke sekian kali.






BAB 8 : MATAHARI DI BULAN SEPTEMBER


Hari ini matahari nampak lebih terik dari biasanya, sama seperti wajah Mei Ra yang lebih bercahaya. Kini ia tengah berada di tengah-tengah kerumunan orang dalam organisasi sosial bentukan Nadia. Tidak, bukan Nadia yang mengajaknya kemari, tapi Sadana, psikiater yang membantunya melawan segala kesulitan.


Mei Ra memang belum sepenuhnya pulih, namun bila ia sering bersosialisasi dengan lingkungan luar, dan dapat mengendalikan ketakutannya serta rajin minum obat anti depresan, ia pasti cepat sembuh. Setidaknya itu yang dikatakan Dana dalam sesi konsultasinya akhir- akhir ini.


Dana benar, Mei Ra merasa lebih nyaman dan beruntung di sini. Di sini ia dapat bertemu dengan orang-orang baru yang tidak jarang lebih menderita dari dirinya. Organisasi sosial ini membantu pemulihan korban dari kerusuhan seperti korban pengeroyokan, korban pelecehan dan masih banyak lagi lainnya, kebanyakan mereka wanita dan ber-ras Tionghoa,sama seperti dirinya. Di sini Nadia dan Dana membangun kembali psikis mereka dengan berbagai kegiatan yang mendukung.


Tatapan Mei Ra terpaku pada sesosok laki-laki yang sedang menyuapi seorang gadis cilik, bila Mei Ra tafsir mungkin masih sekitar lima tahun. Laki-laki itu nampak dengan sabar menyuapi gadis kecil di depannya dan sesekali tertawa. Ahh benar, Mei Ra ingat. Itu si perusuh Teto, iya si Teto yang sering memergokinya bunuh diri di jembatan gantung dekat basecamp Mapala Trisakti, sebenarnya tidak sering juga hanya tiga kali, ia dipergoki dan naasnya Teto selalu berhasil menggagalkannya. Mungkin karena Teto jugalah ia menjadi tercerahkan dan sedikit demi sedikit mulai bangkit, perkataan Teto yang tajam hingga menusuk ke dalam ulu hati sehingga menyadarkannya bahwa hidup harus terus berjalan, dan kita bukan alasan untuk menghentikannya. Andai saja tidak ada Teto mungkin ia sudah dikremasi dan hidup dalam keramik. Mengingat itu membuat Mei Ra tertawa sendiri. Mei Ra sudah punya tekad untuk bangkit dan meraih semua cita-citanya yang ia tunda selama ini akibat traumatis yang sialannya selalu mengahalanginya untuk berkembang.


“Kamu nggak lagi kabur kan?”, suara Teto membuyarkan lamunan Mei Ra,


“Tii..dak”, otak dan mulut Mei Ra tidak sinkron, ia tergagap-gagap menjawab Teto.


“Jangan mikir buat bunuh diri lagi, Ra. Iya jika kamu langsung mati, jika tidak, bisa jadi cacat kamu”, dasar Teto, ucapannya tak pernah ia saring. Benar-benar menusuk, khas dirinya.


“Saya juga sudah tidak minat, lebih tidak berniat lagi mendengar kata-kata kamu yang tajam”, ujar Mei Ra sambil berjalan meninggalkan Teto.


“Ra, mau kemana kamu, kenapa saya malah ditinggal?”, gerutu Teto yang tak mendapat jawaban






MEI RA DAIYU


“Beri tepuk tangan yang meriah untuk Mei Ra Daiyu”, ucap seorang presenter dalam sebuah acara sosial.


“Selamat pagi. Sebelumnya, perkenalkan nama saya adalah Mei Ra Daiyu. Saya adalah seorang etnik Tionghoa. Hari ini adalah hari yang benar-benar tidak terduga untuk saya. Saya dapat berdiri di sini, di depan kalian semua. Sebelumnya saya tidak pernah membayangkan dapat berdiri di sini. Karena saya pernah pupus harapan untuk hidup. Berulang kali mencoba untuk bunuh diri, namun karena Tuhan baik kepada saya, ia mengirim orang-orang yang dengan sabar menemani dan membantu saya keluar dari masa kelam saya. Membangkitkan kembali rasa percaya diri saya, bahkan setelah tahu keadaan saya yang sebenarnya mereka tetap menerima saya. Namun tidak semua pengalaman yang saya alami hanya memiliki sisi buruk, dibalik semua itu pada akhirnya saya dapat memperjuangkan kembali hidup saya terutama perempuan. Melalui organisasi yang telah dibuat pemerintah yaitu Komisi Perlindungan Perempuan Indonesia atau KPAI menjadikan saya tidak lagi takut menghadapi kehidupan saya ke depannya. Bagi perempuan-perempuan di luar sana, kita juga tidak lagi harus menjadi wanita kuat, menjadi wanita yang tidak lagi dapat diremehkan oleh orang lain. Martabat wanita memang seharusnya dijunjung tinggi, bukan diinjak-injak dengan seenaknya. Kita itu wanita, bukan barang yang dapat digunakan seenaknya oleh orang lain, kita harus bangkit dan melawan penjajahan terhadap wanita. Jadi jangan remehkan lagi kekuatan yang ada pada diri perempuan”, ucap Mei Ra dengan menggebu-gebu.


Di atas panggung setelah menutup sambutannya yang berisi kisah hidup serta motivasi Mei Ra untuk terus melanjutkan hidup, jujur saja Mei Ra sangat bersyukur melihat para sahabatnya sedang berkumpul terutama Nadia, Dana dan Teto yang masih sibuk menatap dirinya. Ia bergegas turun dari panggung.


“Selamat ya Nyonya Mei Ra Daiyu CEO Society Care” ujar Nadia, ia menekankan kata nyonya dan CEO di sana, tentu saja tidak bermaksud menyinggung atau semacamnya. Nadia hanya sedang menggoda Mei Ra.


“Kamu apa sih Nad, ini juga berkat kamu nganterin aku pulang ke rumah." balas Mei Ra tersenyum sembari memeluk Nadia.


“Cuma Nadia saja yang dipeluk, saya juga mau”, ucap Dana menggoda Mei Ra dan Nadia, namun hanya dibalas pukulan kecil oleh Mei Ra, hingga menimbulkan tawa diantara mereka.

to be Continue!!










nb: Tugas sekolah yang di penuhi fiksi anak remaja, Maklum ya 😃😃




Sumber terkait :

1. https://ms.wikipedia.org/wiki/Novel_sejarah (Diakses, Sabtu, 10 November 2018)

2. https://zuhriindonesia.blogspot.com/2018/07/struktur-novel-sejarah-atau-cerita.html (Diakses, Sabtu 10 November 2018

2 komentar: