BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Islam adalah agama yang
telah dibawa Nabi Muhammad SAW dalam rangka memberi penerangan bagi seluruh
umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang. Islam
datang dengan ajarannya yang mengandung ketentuan dan peraturan, namun demikian
Islam adalah agama yang mudah, tidak memaksa, dan netral. Islam adalah agama
yang memiliki tatanan yang sempurna, karenanya Islam mengatur seluruh aspek
kehidupan baik urusan keluarga, kemasyarakatan, prinsip pemerintahan maupun
hubungan internasional.
Dalam
pandangan islam, poltik dan islam adalah dua hal yang integral. Karenanya,
Islam tidak bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan
negara, sebab Islam bukanlah ajaran yang mengatur ibadah secara individu saja,
namun Islam juga mengajarkan bagaimana kepedulian kaum muslimin dengan segala
urusan umat yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa
yang diberlakukan penguasa terhadap rakyat, serta menjadi pencegah kedzaliman
oleh penguasa.
Islam
tidak pernah melarang umatnya tidak terjun pada dunia perpolitikan, bahkan
politik sangat diperlukan guna menata tatanan kehidupan umat manusia agar
bersesuaian dengan syariat islam. Bahkan sejak zaman Rasulullahh telah ada yang
namanya politik, guna mengurusi kepentingan sesame. Melaui politik diperoleh
seorang pemimpin yang dianggap cakap untuk menata dan mengatur kehidupan
masyarakat sehingga terwujud negara yang aman, adil, dan makmur sejahtera. Maka
sangat salah besar jika ada yang mengatakan Islam tidak perlu berurusan dengan
yang namanya politik.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana politik dalam perspektif Islam?
2.
Bagaimana variasi pandangan umat Islam dalam melihat Islam dan
Negara ?
3.
Bagaimana institusi khilafah dalam tradisi politik Islam?
4.
Bagaimana cinta tanah air menurut Islam?
1.3 Tujuan
- 1
Mengetahui
politik dalam perspektif Islam
- 2
Mengetahu
variasi pandangan umat Islam
dalam melihat Islam dan Negara
- 3
Mengetahui
institusi khilafah dalam tradisi politik Islam
- 4
Mengetahui
cinta tanah air menurut Islam
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Politik Dalam
Perspektif Islami
2.1.1. Pengertian Politik
Politik berasal dari
bahasa Yunani “polis” yang berarti kota. Secara sederhana, politik merupakan
istilah yang merujuk pada kegiatan mengatur pemerintahan suatu negara.Politik
sebagai kata benda mencakup 3 pemahaman, yaitu: pengetahuan mengenai
kenegaraan, segala urusan dan tindakan mengenai peemrintahan, dan kebijakan
atau cara bertindak dalam menangani suatu masalah. Politik adalah segala
aktivitas atau sikap yang bermaksud mengatur kehidupan masyarakat. Di dalamnya
terkandung unsur kekuasaan untuk membuat hukum dan menegakkannya dalam
kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Salim, 1994:291). Berdasarkan
pengertian tersebut, maka dalam berpolitik terdapat tugas pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian petunjuk (irsyad),
dan mendidik atau membuat orang menjadi beradab(ta`dib).
Dalam Islam, hadis Nabi Muhammad SAW yang dimaknai sebagai dasar perpolitikan dalam Islam adalah :
Telah bercerita kepadaku Muhammad
bin Basysyar, telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah bercerita
kepada kami Syu’bah dari Furat al-Qazaz berkata, aku mendengar Abu Hazim
berkata; “Aku hidup mendampingi Abu Hurairah radliallahu ‘anhu selama lima
tahun dan aku mendengar dia bercerita dari Nabi shallallahu ‘alahi wasallam
yang bersabda: “Bani Isra’fil, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para
Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan
sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku, yang ada adalah para khalifah yang
banyak jumlahnya”. Para shahabat bertanya; “ Apa yang baginda perintahkan
kepada kami?” Beliau menjawab: “Penuhilah bai’at kepada khalifah yang pertama
(lebih dahulu diangkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya
kepada mereka tentang pemerintahan mereka”.
Dalam
hadis tersebut terdapat dikatakan bahwa para nabi mjendampingi,. Mendampingi
maksudnya membimbing dalam hal pemerintahan yang mengatur kehidupan bernegara
dan bermasyarakat. Para penerus nabi disebut khalifah, artinya para pengganti
nabi, semisal Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan para sahabat berikutnya. Prinsip
yang menonjol dalam hadis ini adalah pertanggungjawaban pemegang kekuasaan
(khalifah) yang bersifat langsung kepada Allah dalam memenuhi kewajibannnya
sebagai pengatur yang berikhtiar memenuhi hak orang yang dipimpin.
Dalam Islam, sifat politik adalah
netral dari keinginan nafsu dan merupakan wujud fungsi sebagai khilafah Allah.
Karena itu, jiwa politik dalam Islam adalah keikhlasan dan keterbukaan, karena
dengan cara ini fungsi kontrol terhadap aktivitas pemerintah akan berfungsi
maksimal. Secara historis sikap politik yang ideal tersebut bisa diperoleh
contohnya pada masa awal kepemimpinan dalam Islam yang dipegang oleh Nabi SAW
kemudian para Khulafaur Rasyidin (empat khalifah
pengganti nabi). Masa-masa ini merupakan masa yang banyak dijadikan rujukan
orang dalam mengkonsep perpolitikan Islam.
Politik Islam dikenal juga dengan
istilah siyasah syari’ah. Defenisi siyasah syari’ah menurut Abdul Wahhab
Khallaf adalah pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh
dengan cara mewujudkan kemaslahatan, mencegah terjadinya kerusakan melalui
aturan-aturan yang ditetapkan Islam dan prinsip-prinsip umum syariat, kendati
hal itu tidak ada dalam ketetapan nash (Al-Qur’an
dan hadis) dan hanya merujuk pada pendapat para
imam mujtahid (Taimiyah. 1419 H).
Al-Qur’an memberikan suatu jawaban komprehensif terkait persoalan tingkah laku manusia (Asad, 1980:1-2).Politik memegang peranan penting dalam Islam, karena melalui politik perdamaian dan ketertiban dapat diwujudkan. Politik dalam Islam bertujuan untuk iqamatud din wa siyasatud dunya, yaitu menegakkan agama dan mengatur urusan dunia yang menajdi ladang bagi kehidupan akhirat. Islam mengajarkan sejumlah prinsip dalam berpolitik agar politik membawa kemaslahatan bagi umat manusia, diantaranya syuara (musyawarah), adil, amanah, musawah (persamaan), dan ijma’ (kesepakatan).
2.2 Variasi Pandangan Umat Islam Dalam
Melihat Relasi Islam Dan Negara
Manusia sebagai makhluk sosial
membutuhkan negara untuk melkaukan kerjasama sosial dengna menjadikan agama
(wahyu) sebagai pedoman. Menurut Al Mawardi, kepemimpinan politik Islam
didirikan untuk melanjutkan tugas-tugas kenabian dalam memelihara agama dan
mengelola kebutuhan duniawi masyarakat. Beragam bentuk pemerintahan ditawarkan
oleh para pemikir Islam klasik dan pertengahan.
2.2.1 Tipologi Relasi Agama dan Negara
Berdasarkan pemikiran politik Islam
modern, terdapat 3 tipologi relasi agama dan negara, yaitu bentuk pemerintahan
teo-demokrasi, sekuler, dan moderat.
a.
Tipologi teo-demokrasi
Tipologi teo-demokrasi menganggap bahwa agama sekaligus negara, keduanya merupakan entitas yang menyatu. Kelompok ini disebut juga Islam Politik (al-Islam as-Siyasiy) karena menganggap politik sebagai bagian integral dari Islam. Mereka memandang Islam sebagai suatu agama yang serba lengkap, termasuk ketatanegaraan atau politik. Oleh kerena itu, dalam pandangan teoritis integrasi ini, negara adalah lembaga keagamaan sekaligus lembaga politik
Tipologi ini disebut juga sama dengan kelompok fundamental; menginginkan syariat Islam menjadi dasar negara dan semua peraturan serta keputusan yang ada di dalamnya. Di Indonesia, terdapat jelmaan pandangan tersebut dalam gerakan Negara Islam Indonesia (NII) dalam berbagai variannya. Kelompok ini mempunyai tauhid mulkiyyah selain rububiyyah dan ilahiyyah. Tahuid mulkiyyaj adalah pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Malik (Raja) yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Tauhid mulkiyyah mereka ini antara lain didasarkan pada QS. Al-Isra’:111 yang berbunyi :
Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya.
dan Al-Maidah:120 yang berbunyi:
Artinya
: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi
dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”
Dalam pandangan mereka, jika mereka
mengakui keberadaan lembaga lain di luar lembaga pemerintahan syariat Allah,
maka mereka musrik terhadap mulkiyyah Allah.
Ideologi semacam ini mirip dengan pandangan Maududi bahwa sistem politik
didasarkan pada tiga prinsip pokok : tauhid, risalah, dan khilafah. Konsep
tauhid menegasakan bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb berdaulat terhadap alam
ini. Konsep risalah menegaskan bahwa Al Quran itu bersifat global,
penjelasannya ada pada aktivitas risalah Nabi. Konsep ketiga adalah khilafah,
yaitu keberadaan manusia sebagai wakil Tuhan. Manusia hanya memiliki kekuasaan
sebatas yang didelegasikan oleh Allah. Kekuasaan mutlak milik Allah. Dengan
kekuasaan mutlak ini negara yang diangankan Maududi adalah kerajaan Tuhan (mulkiyyah Tuhan). Yang termasuk dalam
tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub, Abul A’la Al-Maududi, Hasan
Al-Banna, Mohammad Abduh, dan Muhammad Natsir.
b.
Tipologi Sekuler
Tipologi sekuler berpendapat bahwa agama
bukanlah negara. Negara adalah urusan dunia yang pertimbangannya menggunakan
akal dan kemaslahatan kemanusiaan yang bersifat duniawi saja. Agama adalah
urusan pribadi dan keluarga. Agama tidak harus diatur negara dan begitu
sebaliknya. Penganut tipologi ini , menyatakan tidak ada dalil eksplesit dalam
Al-Quran maupun hadis yang menunjukkan kewajiban mendirikan sebuah negara.
Kelompok sekuler ini disebut juga Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islamiy). Pemikiran yang masuk dalam kategori ini
adalah Ali Abdur Raziq, A. Luthfi Sayyid, Muhammad Ahmad Khalafullah, Muhammad
Sa’id Al-Asymawi, Faraj Faudah, Abdurrahman Wahid, dan mantan Presiden Sukarno.
Jika tipologi neo-teokrasi terbelenggu oleh pemikiran dan praktik politik Islam
klasik, maka tipologi sekuler ini terbelenggu oleh pemikiran Barat, seolah-olah
apa yang berkembang di Barat sudah final (Kamil, 1982: 75-76).
Menurut Kelompok ini, persoalan politik
merupakan persoalan historis, bukan teologis yang harus diyakini dan diikuti
oleh setiap individu muslim. Islam hendaknya tidak dipolitisasi dan tidak
menjadi kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Jadi, agama dan negara
harus dipisahkan. Praktek politik bukan suatu kewajiban agama, melainkan
praktek kehidupan manusia yang bisa salah dan bisa benar. Tindakan politik yang
salah dan di atas namakan agama justru akan membuat hakikat agama itu menjadi
dangkal dan hina. Islam bersifat universal dan praktek politik bersifat
particular (Al-Ashmawy, 1996: 17-18). Kelompok sekuler banyak ditemukan di
negara-negara sekuler seperti Perancis, Amerika, Australia.
c.
Tipologi Moderat
Tipologi moderat (al-mutawassith), tipologi dimana mereka berparadigma
substantivistik. Aliran ini berpendirian bahwa Islam tidak mengatur sistem
ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan
bernegara. Menurut kelompok ini, tidak ada satu nash pun dalam Al-Quuran
yang memerintahkan didirikannya sebuah negara Islam (Iqbal & Nasution,
2010:28-29). Mereka menolak klaim ekstrim bahwa agama telah mengatur semua
urusan, termasuk politi, dan menolak klaim ekstrim bahwa Islam tidak ada
kaitannya dengan negara atau politik.
Jadi,
relasi agama dan negara adalah relasi simbiosis mutualisme, dalam bidang etik
dan moral. Negara menjadi instrument politik untuk menegakkan nilai dan akhlak
Islam yang bersifat universal.bagi kelompok ini, konsep negara dan pemerintahan
merupakan bagian dari ijtihad kaum muslimin, karena tata negara dan sistem
pemerintahan tidak tertera secara jelas dalamm Al-Quran.
Dalam al-Hakam as-Sulthaniyah al-Mawardi menegaskan, konsep politik Islam
didasarkan akan adanya kewajiban mendirikan lembaga kekuasaan (imamah), karena lembaga ini dibangun
untuk mengganti tugas kenabian dalam upaya pengaturan agama atas dunia.
Artinya, lembaga kepemimpinan negara merupakan instrument untuk meneruskan misi
kenabian untuk memelihara agama dalam mengatur dunia. Jika lembaga ini telah
berdiri dan memenuhi syarat yang digariskan, dalam pengertian personal yang memegang
kekuasaan dipandang cakap dan mampu melaksanakan tugasnya, maka kewajiban
membentuk lembaga kepemimpinan negara tersebut telah sah dan mencukupi.
(al-Mawardi, 1984: 5)
Bila seseorang sudah terpilih
sebagai pemimpin negara dan memegang kekuasaan, maka kepatuhan kepadanya tidak
hanya dalam kaitannya dengan tugas politik, tetapi juga dalam kewajiban agama.
Namun apabila terdapat cacat moral yang dapat mengikis kadar diri pemimpin
tersebut, maka ia akan kehilangan legitimasi kekuasaannya. Menurut al-Mawardi,
tidak ada hak pemerintah untuk dipatuhi secara mutlak dan absolut, karena
ketaatan kepada penguasa terkait dengan keselarasan perilaku dan kebijakan
pemimpin terhadap syari’at Islam. Dikatakan, “Hanya selama pemegang kendali
pemerintah berpegang teguh pada kebenaran,
yakni selaras dengan syariat yang wajib dippatuhi”. (al-Mawardi, 1984:
17)
Tokoh-tokoh kelompok moderat ini
adalah Ahmad Amin, Muhammad Husain Haikal, Muhammad Imarah, Fazlur Rahman,
Robert N. Bellah, dan Amin Rais (Ghazali,
2002:175; Kamil, 2013:31). Dalam tataran politik praktis, pemikir dari
kalangan ini selalu mempertimbangkan aspek maslahat. Kebijaksanaan pemerintah
harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan popular berbunyi ‘tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun
bil-mashlahah’ (kebijaksanaan kepala pemerintah terhadap rakyat harus
bertujuan untuk kesejahteraan rakyat). Aliran ini menempatkan syariat sebagai
tata nilai masyarakat dalam kehidupan bernegara (Isybah, 2013).
2.2.2 Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI)
Dari sudut pandang agama, NKRI adalah
sah, karena presiden Indoensia dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana prosedur
pengangkatan Ali RA menjadi Khalifah. Selain itu, presiden dilantik oleh MPR,
sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat merepresentasikan ahlul halli wal’aqdi dalam konsep
al-Mawardi di kitabnya al-Ahkam ash
Shultaniyah, Keabsahan kedaulatan pemerintahan NKRI dapat dilihat pula dari
terpenuhinya maqashid al-syar’iyah (tujuan-tujuan
syar’i), yakni demi menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait
dengan ini, al-Ghazali (1988:147) dalam al-‘Iqtishad fil ‘Itiqad menyatakan,
“dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin
(presiden), karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudlarat di dunia ini”
Empat pilar kebangsaan yang terdiri atas
Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, sebenarnya merupakan
formulasi final umat Islam Indoensia dari segala upaya mendirikan negara dan
membentuk pemerintaha. Pancasila sebagai ideologi negara Indoensia merupakan
bentuk penafsiran dengan pengejawentahan nilai-nilai luhur ajaran Islam dalam
berkeTuhanan dan berkemanusiaan. Pancasila yang menjadi ideologi NKRI adalah
falsafah pemersatu dari keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan kondisi
geografis. Pancasila sebagai falsafah bangsa mengandung nilai-nilai tauhid, kemanusiaan,
keadaban, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kedudukannya identic dengan
Piagam Madinah, sebagai wadah pemersatu kebhinnekaan bangsa. Manifesto esensial
Khilafah Islamiyah dalam pandangan Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, maslahah dan rahmatan lil ‘alamin (Azza,
2011).
Empat pilar kebangsaan tersebut selaras
dengan prinsip-prinsip dasar politik Islam. Prinsip-prinsip dasar dalam politik
Islam meliputi :
1.
Prinsip Amanah
Amanah adalah segala yang dipercayakan orang, berupa perkataan, perbuatan, harta dan pengetahuan atau segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain (Jauhari,tt.54). Prinsip ini menghendaki agar pemerintah melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, meliputi tanggung jawab manusia terhadap Allah, terhadap sesamanya, dan terhadap diri sendiri, karena setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Rasullah SAW bersabda :
Artinya : “Setiap
kalian adalah pemimpin & setiap kalian akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Seorang penguasa adalah pemimpin & akan ditanya tentang
kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya & akan
ditanya tentang kepemimpinanya. Seorang wanita adalah penanggung jawab dalam
rumah suaminya & akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Seorang pelayan
adalah penanggung jawab dalam harta majikannya & akan ditanya tentang
tanggung jawabnya.”
2. Prinsip Keadilan
Prinsip ini berkaitan dengan keadilan sosial bagi seluruh manusia tanpa pandang golongan dan jabatan. Masalah keadilan juga Allah tegaskan di dalam Al-Qur’an.
Artinya: “Wahai orang-orang yang
beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi
kerana Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu.
Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kerana ingin menyimpang darikebenaran. Dan
jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 135).
3.
Prinsip Ketaatan
Prinsip ketaatan dimana pemimpin dalam melaksakan tugasnya hendaknya mengikuti hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran dan hadis. Allah berfirman:
Artinya
: “Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu” (Q.S.
al-Nisa’ :59).
Ketaatan juga berarti ikut
berpartisipasi dalam upaya mendudkung pemerintah dan melaksanakan serta
mensosialisasikan ajaran agama Islam.
4.
Prinsip Musyawarah
Prinsip Musyawarah diperlukan agar para
pemimpin dan penyelenggara negara dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan
bertukar fikiran dengan siapa saja yang dianggap tepat guna mencapai yang
terbaik untuk semua.
2.3 Institusi Khilafah Dalam Tradisi
Politik Islam
Khilafah
dalam bahasa Arab berarti penggantian. Kata ini mengingatkan orang pada
Khalifah (خَليفة, pengganti, pengatur, wakil) yang ada
dalam Q.S al- Baqarah:30:
…….خَلِيفَةً الْأَرْضِ فِي جَاعِلٌ إِنِّي لِلْمَلَائِكَةِ رَبُّكَ قَالَ وَإِذْ
Ingatlah ketika
Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Khilafah
merujuk pada sistem pemerintahan Islam pertama yang didirikan pasca wafatnya
Rasulullah SAW. Pemimpin dalam sistem ini disebut khalifah. Terma khilafah
bersinonim dengan imamah, dalam penggunaanya terma khilafah sering kali
digunakan oleh mayoritas ahlussunnah
sedangkan kalangan syiah lebih akrab menggunakan kata imamah untuk menunjukkan konsep mereka dalam kepemimpinan (Chalik,
2012).
Para ulama dari semua kalangan, yakni ahli Tafsir, ahli Hadist, dan para
ulama mazhab menyatakan, mengangkat seorang imam hukumnya memang wajib. Namun
tidak ada dalil nash yang mewajibkan memakai sistem khilafah, karena keberadaan
sistem khilafah adalah bentuk ijtihadiyyah (al-Ghazali, 2004: 200, al-Zuhaili,
2005: 6, 661-662).
Nabi Muhammad SAW menyerahkan persoalan
mengenai siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat
Islam setelah beliau wafat, kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya.
Kemudian kaum Muhajirin dan Ansor bermusyawarah hingga akhirnya terpilihlah Abu
Bakar As-Shidiq sebagai pengganti Rasulullah.
Dari segi proses, pemilihan Abu Bakar sebagai
khalifah berdasarkan system baiat
atau system demokrasi dengan berdasar al-amru
syuro bainahum. Penyelenggaraan
pemerintahan pada masa Abu Bakar bersifat sentral; kekuasaan legislative,
eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan khalifaah (Yatim, 2008:36).
Kebijakan politik Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya dengan meminta
pendapat para sahabat menunjukan bahwa asas musyawarah tetap menjadi prinsip
utama dalam suksesi pergantian khalifah (Supriyadi, 2008:76).
Bagi mayoritas Sunni, pemilihan pemimpin
selayaknya dilakukan melalui presedur syura (consensus) yang dilakukan oleh
para wakil rakyat dalam satu Majlis Syura (lembaga legislatif). Pemilihan ini
berpijak pada QS. Al-Syura:38 dan Ali Imran:159 yang menyandarkan pemilihan
pada asas musyawarah.
شُورَى بَيْنَهُمْ ٰ وَأَمْرُهُمْ
“…sedang
urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka…”(Q.S. Asy-Syura:38).
Selanjutnya, khalifah Umar bin Khattab dipilih
oleh sejumlah sahabat atas inisiatif Abu Bakar. Pada masa Umar, berlaku system baiat (system demokrasi) dalam hal
memilih kepala Negara dengan tetap berpegang pada prinsip al-amru syura bainahum (musyawarah). Sedangkan pemilihan Ustman bin
Affan dilakukan dengan system formatur (Ridwan, 2012:273). Setelah Ustman
terbunuh, kaum Muhajirin dan kaum Anshar menginginkan Ali sebagai khalifah,
tetapi Ali menolak dan menginginkan pengangkatannya sebagai khalifah
dimusyawarahkan oleh para sahabat, akhirnya hasil musyawarah menyatakan Ali
sebagai khalifah (Supriyadi, 2008:93-101).
Pada masa Dinasti Umayyah, lembaga khilafah menjadi system kerajaan yang
otoriter. Ketika kekuasaan ada pada tangan Dinasti Abbasiyah konsepsi seputar
khalifah bergeser menjadi wakil Tuhan dimuka bumi selanjutnya, munculah gerakan
anti khalifah Abbasiyah dengan mendirikan kekuasaan ditingkat daerah. Mereka
menggunakan istilah baru, yaitu amir.
Kata amir pertama kali digunakan untuk merujuk pada pemimpin yang memiliki
kapasitas militer yang tangguh, seperti yang ditunjukkan oleh Umar bin Khatab
dengan gelarnya yang terkenal, Amirrul
Mukminin. Pada periode terkemudian, sebutan amir ini kemudian bergeser
menjadi gelar bagi pemimpin Negara Islam
Berdasarkan fakta historis diatas, tampak bahwa
tidak ada aturan baku dalam pemilihan pemimpin dalam islam, kecuali aturan
untuk musyawarah dan mufakat. Namun, prosedurnya selalu berubah sesuai dengan
tuntutan zaman yang mengiringinya.
2.4
Cinta Tanah Air Menurut Islam
Cinta
tanah air merupakan tabiat alami manusia (fitrah). Karena di tanah air itulah
manusia dilahirkan dan dibesarkan, dididik dan disayang. Cinta tanah air
menimbulkan nasionalisme, yaitu kesadaran dan semangat cinta tanah air;
memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangs; memiliki
rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan saudara setanah air;
serta menjunjung persatuan dan kesatuan
Islam
memandang bahwa mencintai tanah air adalah suatu tindakan yang baik. Diantara
bukti ajaran Islam tentang cinta tanah air adalah sikap Rasulullah SAW terhadap
tanah kelahirannya. Ketika akan berhijrah ke madinah dan meninggalkan kota
kelahirannya, makkah, Dari Abdullah bin Abbas RA Rasulullah SAW bersabda:
“Sungguh
engkau adalah bumi allah yang paling baik, alangkah besarnya cintaku padamu
(kota Makkah), kalaulah bukan karena penduduknya mengusirku darimu, maka pasti
aku tidak akan pernah meninggalkanmu” (HR. Tirmidzi).
Sesampainya
di Madinah, beliau berdoa agar diberikan rasa cinta pula terhadap Madinah:
“Ya
Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami, sebagai mana engkau mencintakkan
kota Makkah kepada kami, bahkan lebih” (HR. Bukhari, Malik dan Ahmad).
Pernyataan
d iatas merupakan sebuah perwujudan dari rasa cinta Rasulullah SAW terhadap
tanah airnya. Negeri bagaikan rumah yang telah memberikan yang terbaik kepada
penguninya. Karena itu, sudah selayaknya bila manusia memakmurkan bumi.
Kecintaan Rasulullah pada tanah air (Kota Makkah) diwujudkan dalam bentuk islah atau perbaikan dalam seluruh
tatanan kehidupan yang diawali dengan perbaikan akidah. Cinta tanah air tidak
hanya dilakukan oleh Rasulullah, tetapi juga dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS.
Islam mengajarkan umatnya untuk mengikuti jejak (Millah) Nabi Ibrahim (QS. An-Nahl:123;Ali Imran;95).
Kecintaan
pada tanah air juga ditunjukan oleh para ulama’ yang menjadi mujahid dalam mengusir
penjajah. Menjadi perhatian Islam terhadap bela Negara tampak pula pada ayat
yang menggandengkan pembelaan Agama dan pembelaan negara (QS.
Al-Mumtahanah:8-9).
Ajaran untuk cinta tanah air sesuai dengan isi pesan dalam 4 pilar kebangsaan, yaitu pancasila, UUD 1945 NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Negara Indonesia adalah Negara kesatuan. Kesatuan kepulauan nusantara yang ingin diwujudkan adalah kesatuan politik,ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. 4 kesatuan inilah yang disebut dengan wawasan nusantara yang kemudian dijadikan tujuan pembangunan bangsa. Pancasila berfungsi sebagai dasarnya yang menjadi sandaran bagi 3 pilar yang lain. Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai tanah air. Ajaran ini merupakan salah satu wujud penerapan 4 pilar kebangsaan. Sikap cinta tanah air perlu dipupuk dan ditanamkan dalam hati dengan harapan tanah air Indonesia akan terus menjadi negeri yang aman dan damai.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Politik
Islam adalah pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh
dengan cara mewujudkan kemaslahatan, mencegah terjadinya kerusakan
aturan-aturan yang ditetapkan Islam dan prinsip-prinsip umum syariat. Pandangan
umat Islam dalam melihat relasi Islam dan negara dibagi menjadi tiga, yaitu
tipologi teo-demokrasi, tipologi sekuler, dan tipologi moderat. Adapun NKRI
dalam pandangan islam dipandang sebagai negara yang sah karena telah
bersesuaian dengan ajaran Nabi Muhammad SAW dan sebagaimana prosedur di masa
khalifah. Politik dalam Islam memiliki prinsip-prinsip meliputi, prinsip
amanah, prinsip keadilan, prinsip ketaatan, dan prinsip musyawarah.
Tradisi politik dalam Islam
sendiri diajarkan bahwa sistem poltiknya dinamakan Khilafah. Khilafah sendiri
adalah sistem pemerintahan Islam pertama yang didirikan setelah wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Pemimpin dari Khilafah itu dinamakan Khalifah. Namun saat ini
penerapan Khilafah tidak begitu terlihat, karena bersifat lintas negara. Adapun
yang saat ini masih ada adalah sistem pemilihan khilafahnya, yaitu melalui
pemilihan yang dipilih langsung oleh rakyat dan didasarkan pada musyawarah
mufakat terlebih dahulu. Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk mencintai
tanah airnya, sebab tanah air adalah tempat dimana manusia tersebut dilahirkan
dan dibesarkan, dididik dan disayang. Islam memandang bahwa mencintai tanah air
adalah suatu tindakan yang baik. Bahkan Rasulullah sendiri menujukkan sikap
mencintai tanah kelahirannya.
3.2 Saran
1
Sangat disarankan bagi
mahasiswa untuk memahami tentang bagaimana politik itu berjalan sesuai dengan
perspektif Islam agar tidak salah konsep terhadap beragam perspektif yang
muncul dikalangan masyarakat umum.
2 Mencintai tanah air adalah hal yang harus kita tanamkan dalam diri sedari kecil agar tidak mudah tergoyahkan oleh bermacam macam gangguan atau konflik perpecahan yang dapat memecah NKRI
DAFTAR RUJUKAN
UM,
Tim Dosen PAI. Pendidikan Islam Transformatif Membentuk Pribadi Berkarakter.
Malang, 2013
Muslim
Suara . (2018, 23 Januari) . Politik
dalam Pandangan Islam (online). https://suaramuslim.net/politik-dalam-pandangan-islam/
, Diakses 8 Agustus 2019