Tampilkan postingan dengan label PAI. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PAI. Tampilkan semua postingan

Rabu, 09 September 2020

POLITIK DAN CINTA TANAH AIR


BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

                Islam adalah agama yang telah dibawa Nabi Muhammad SAW dalam rangka memberi penerangan bagi seluruh umat manusia dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang. Islam datang dengan ajarannya yang mengandung ketentuan dan peraturan, namun demikian Islam adalah agama yang mudah, tidak memaksa, dan netral. Islam adalah agama yang memiliki tatanan yang sempurna, karenanya Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik urusan keluarga, kemasyarakatan, prinsip pemerintahan maupun hubungan internasional.

Dalam pandangan islam, poltik dan islam adalah dua hal yang integral. Karenanya, Islam tidak bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara, sebab Islam bukanlah ajaran yang mengatur ibadah secara individu saja, namun Islam juga mengajarkan bagaimana kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap rakyat, serta menjadi pencegah kedzaliman oleh penguasa.

Islam tidak pernah melarang umatnya tidak terjun pada dunia perpolitikan, bahkan politik sangat diperlukan guna menata tatanan kehidupan umat manusia agar bersesuaian dengan syariat islam. Bahkan sejak zaman Rasulullahh telah ada yang namanya politik, guna mengurusi kepentingan sesame. Melaui politik diperoleh seorang pemimpin yang dianggap cakap untuk menata dan mengatur kehidupan masyarakat sehingga terwujud negara yang aman, adil, dan makmur sejahtera. Maka sangat salah besar jika ada yang mengatakan Islam tidak perlu berurusan dengan yang namanya politik.

1.2  Rumusan Masalah

1.    Bagaimana politik dalam perspektif Islam?

2.    Bagaimana variasi pandangan umat Islam dalam melihat Islam dan Negara ?

3.    Bagaimana institusi khilafah dalam tradisi politik Islam?

4.    Bagaimana cinta tanah air menurut Islam?

1.3 Tujuan

  1. 1        Mengetahui politik dalam perspektif Islam
  2. 2        Mengetahu variasi pandangan umat Islam dalam melihat Islam dan Negara
  3. 3        Mengetahui institusi khilafah dalam tradisi politik Islam
  4. 4        Mengetahui cinta tanah air menurut Islam

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Politik Dalam Perspektif Islami

      2.1.1. Pengertian Politik 

Politik berasal dari bahasa Yunani “polis” yang berarti kota. Secara sederhana, politik merupakan istilah yang merujuk pada kegiatan mengatur pemerintahan suatu negara.Politik sebagai kata benda mencakup 3 pemahaman, yaitu: pengetahuan mengenai kenegaraan, segala urusan dan tindakan mengenai peemrintahan, dan kebijakan atau cara bertindak dalam menangani suatu masalah. Politik adalah segala aktivitas atau sikap yang bermaksud mengatur kehidupan masyarakat. Di dalamnya terkandung unsur kekuasaan untuk membuat hukum dan menegakkannya dalam kehidupan masyarakat yang bersangkutan (Salim, 1994:291). Berdasarkan pengertian tersebut, maka dalam berpolitik terdapat tugas pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian petunjuk (irsyad), dan mendidik atau membuat orang menjadi beradab(ta`dib).

Dalam Islam, hadis Nabi Muhammad SAW yang dimaknai sebagai dasar perpolitikan dalam Islam adalah :

Telah bercerita kepadaku Muhammad bin Basysyar, telah bercerita kepada kami Muhammad bin Ja’far, telah bercerita kepada kami Syu’bah dari Furat al-Qazaz berkata, aku mendengar Abu Hazim berkata; “Aku hidup mendampingi Abu Hurairah radliallahu ‘anhu selama lima tahun dan aku mendengar dia bercerita dari Nabi shallallahu ‘alahi wasallam yang bersabda: “Bani Isra’fil, kehidupan mereka selalu didampingi oleh para Nabi, bila satu Nabi meninggal dunia, akan dibangkitkan Nabi setelahnya. Dan sungguh tidak ada Nabi sepeninggal aku, yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya”. Para shahabat bertanya; “ Apa yang baginda perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: “Penuhilah bai’at kepada khalifah yang pertama (lebih dahulu diangkat), berikanlah hak mereka karena Allah akan bertanya kepada mereka tentang pemerintahan mereka”.

            Dalam hadis tersebut terdapat dikatakan bahwa para nabi mjendampingi,. Mendampingi maksudnya membimbing dalam hal pemerintahan yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Para penerus nabi disebut khalifah, artinya para pengganti nabi, semisal Abu Bakar, Umar, Usman, Ali dan para sahabat berikutnya. Prinsip yang menonjol dalam hadis ini adalah pertanggungjawaban pemegang kekuasaan (khalifah) yang bersifat langsung kepada Allah dalam memenuhi kewajibannnya sebagai pengatur yang berikhtiar memenuhi hak orang yang dipimpin.

            Dalam Islam, sifat politik adalah netral dari keinginan nafsu dan merupakan wujud fungsi sebagai khilafah Allah. Karena itu, jiwa politik dalam Islam adalah keikhlasan dan keterbukaan, karena dengan cara ini fungsi kontrol terhadap aktivitas pemerintah akan berfungsi maksimal. Secara historis sikap politik yang ideal tersebut bisa diperoleh contohnya pada masa awal kepemimpinan dalam Islam yang dipegang oleh Nabi SAW kemudian para  Khulafaur Rasyidin (empat khalifah pengganti nabi). Masa-masa ini merupakan masa yang banyak dijadikan rujukan orang dalam mengkonsep perpolitikan Islam.

            Politik Islam dikenal juga dengan istilah siyasah syari’ah. Defenisi siyasah syari’ah menurut Abdul Wahhab Khallaf adalah pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan cara mewujudkan kemaslahatan, mencegah terjadinya kerusakan melalui aturan-aturan yang ditetapkan Islam dan prinsip-prinsip umum syariat, kendati hal itu tidak ada dalam ketetapan nash (Al-Qur’an dan hadis) dan hanya merujuk pada pendapat para  imam mujtahid (Taimiyah. 1419 H).

            Al-Qur’an memberikan suatu jawaban komprehensif terkait persoalan tingkah laku manusia (Asad, 1980:1-2).Politik memegang peranan penting dalam Islam, karena melalui politik perdamaian dan ketertiban dapat diwujudkan. Politik dalam Islam bertujuan untuk iqamatud din wa siyasatud dunya, yaitu menegakkan agama dan mengatur urusan dunia yang menajdi ladang bagi kehidupan akhirat. Islam mengajarkan sejumlah prinsip dalam berpolitik agar politik membawa kemaslahatan bagi umat manusia, diantaranya syuara (musyawarah), adil, amanah, musawah (persamaan), dan ijma’ (kesepakatan).

2.2 Variasi Pandangan Umat Islam Dalam Melihat Relasi Islam Dan Negara

Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan negara untuk melkaukan kerjasama sosial dengna menjadikan agama (wahyu) sebagai pedoman. Menurut Al Mawardi, kepemimpinan politik Islam didirikan untuk melanjutkan tugas-tugas kenabian dalam memelihara agama dan mengelola kebutuhan duniawi masyarakat. Beragam bentuk pemerintahan ditawarkan oleh para pemikir Islam klasik dan pertengahan.

2.2.1 Tipologi Relasi Agama dan Negara

Berdasarkan pemikiran politik Islam modern, terdapat 3 tipologi relasi agama dan negara, yaitu bentuk pemerintahan teo-demokrasi, sekuler, dan moderat.

a. Tipologi teo-demokrasi

Tipologi teo-demokrasi menganggap bahwa agama sekaligus negara, keduanya merupakan entitas yang menyatu. Kelompok ini disebut juga Islam Politik (al-Islam as-Siyasiy) karena menganggap politik sebagai bagian integral dari Islam. Mereka memandang Islam sebagai suatu agama yang serba lengkap, termasuk ketatanegaraan atau politik. Oleh kerena itu, dalam pandangan teoritis integrasi ini, negara adalah lembaga keagamaan sekaligus lembaga politik

Tipologi ini disebut juga sama dengan kelompok fundamental; menginginkan syariat Islam menjadi dasar negara dan semua peraturan serta keputusan yang ada di dalamnya. Di Indonesia, terdapat jelmaan pandangan tersebut dalam gerakan Negara Islam Indonesia (NII) dalam berbagai variannya. Kelompok ini mempunyai tauhid mulkiyyah selain rububiyyah  dan  ilahiyyah. Tahuid mulkiyyaj adalah pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Malik (Raja) yang memiliki kerajaan langit dan bumi. Tauhid mulkiyyah mereka ini antara lain didasarkan pada QS. Al-Isra’:111 yang berbunyi : 

Dan katakanlah: "Segala puji bagi Allah Yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai sekutu dalam kerajaan-Nya dan Dia bukan pula hina yang memerlukan penolong dan agungkanlah Dia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. 

dan Al-Maidah:120 yang berbunyi:

Artinya : “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada di dalamnya; dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”

Dalam pandangan mereka, jika mereka mengakui keberadaan lembaga lain di luar lembaga pemerintahan syariat Allah, maka mereka musrik terhadap mulkiyyah Allah. Ideologi semacam ini mirip dengan pandangan Maududi bahwa sistem politik didasarkan pada tiga prinsip pokok : tauhid, risalah, dan khilafah. Konsep tauhid menegasakan bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb berdaulat terhadap  alam ini. Konsep risalah menegaskan bahwa Al Quran itu bersifat global, penjelasannya ada pada aktivitas risalah Nabi. Konsep ketiga adalah khilafah, yaitu keberadaan manusia sebagai wakil Tuhan. Manusia hanya memiliki kekuasaan sebatas yang didelegasikan oleh Allah. Kekuasaan mutlak milik Allah. Dengan kekuasaan mutlak ini negara yang diangankan Maududi adalah kerajaan Tuhan (mulkiyyah Tuhan). Yang termasuk dalam tipologi ini adalah Rasyid Ridha, Sayyid Qutub, Abul A’la Al-Maududi, Hasan Al-Banna, Mohammad Abduh, dan Muhammad Natsir.  

b. Tipologi Sekuler

Tipologi sekuler berpendapat bahwa agama bukanlah negara. Negara adalah urusan dunia yang pertimbangannya menggunakan akal dan kemaslahatan kemanusiaan yang bersifat duniawi saja. Agama adalah urusan pribadi dan keluarga. Agama tidak harus diatur negara dan begitu sebaliknya. Penganut tipologi ini , menyatakan tidak ada dalil eksplesit dalam Al-Quran maupun hadis yang menunjukkan kewajiban mendirikan sebuah negara. Kelompok sekuler ini disebut juga Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islamiy). Pemikiran yang masuk dalam kategori ini adalah Ali Abdur Raziq, A. Luthfi Sayyid, Muhammad Ahmad Khalafullah, Muhammad Sa’id Al-Asymawi, Faraj Faudah, Abdurrahman Wahid, dan mantan Presiden Sukarno. Jika tipologi neo-teokrasi terbelenggu oleh pemikiran dan praktik politik Islam klasik, maka tipologi sekuler ini terbelenggu oleh pemikiran Barat, seolah-olah apa yang berkembang di Barat sudah final (Kamil, 1982:  75-76).

Menurut Kelompok ini, persoalan politik merupakan persoalan historis, bukan teologis yang harus diyakini dan diikuti oleh setiap individu muslim. Islam hendaknya tidak dipolitisasi dan tidak menjadi kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Jadi, agama dan negara harus dipisahkan. Praktek politik bukan suatu kewajiban agama, melainkan praktek kehidupan manusia yang bisa salah dan bisa benar. Tindakan politik yang salah dan di atas namakan agama justru akan membuat hakikat agama itu menjadi dangkal dan hina. Islam bersifat universal dan praktek politik bersifat particular (Al-Ashmawy, 1996: 17-18). Kelompok sekuler banyak ditemukan di negara-negara sekuler seperti Perancis, Amerika, Australia.

c. Tipologi Moderat

Tipologi moderat (al-mutawassith), tipologi dimana mereka berparadigma substantivistik. Aliran ini berpendirian bahwa Islam tidak mengatur sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara. Menurut kelompok ini, tidak ada satu nash  pun dalam Al-Quuran yang memerintahkan didirikannya sebuah negara Islam (Iqbal & Nasution, 2010:28-29). Mereka menolak klaim ekstrim bahwa agama telah mengatur semua urusan, termasuk politi, dan menolak klaim ekstrim bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan negara atau politik.

Jadi, relasi agama dan negara adalah relasi simbiosis mutualisme, dalam bidang etik dan moral. Negara menjadi instrument politik untuk menegakkan nilai dan akhlak Islam yang bersifat universal.bagi kelompok ini, konsep negara dan pemerintahan merupakan bagian dari ijtihad kaum muslimin, karena tata negara dan sistem pemerintahan tidak tertera secara jelas dalamm Al-Quran.

            Dalam al-Hakam as-Sulthaniyah al-Mawardi menegaskan, konsep politik Islam didasarkan akan adanya kewajiban mendirikan lembaga kekuasaan (imamah), karena lembaga ini dibangun untuk mengganti tugas kenabian dalam upaya pengaturan agama atas dunia. Artinya, lembaga kepemimpinan negara merupakan instrument untuk meneruskan misi kenabian untuk memelihara agama dalam mengatur dunia. Jika lembaga ini telah berdiri dan memenuhi syarat yang digariskan, dalam pengertian personal yang memegang kekuasaan dipandang cakap dan mampu melaksanakan tugasnya, maka kewajiban membentuk lembaga kepemimpinan negara tersebut telah sah dan mencukupi. (al-Mawardi, 1984: 5)

            Bila seseorang sudah terpilih sebagai pemimpin negara dan memegang kekuasaan, maka kepatuhan kepadanya tidak hanya dalam kaitannya dengan tugas politik, tetapi juga dalam kewajiban agama. Namun apabila terdapat cacat moral yang dapat mengikis kadar diri pemimpin tersebut, maka ia akan kehilangan legitimasi kekuasaannya. Menurut al-Mawardi, tidak ada hak pemerintah untuk dipatuhi secara mutlak dan absolut, karena ketaatan kepada penguasa terkait dengan keselarasan perilaku dan kebijakan pemimpin terhadap syari’at Islam. Dikatakan, “Hanya selama pemegang kendali pemerintah berpegang teguh pada kebenaran,  yakni selaras dengan syariat yang wajib dippatuhi”. (al-Mawardi, 1984: 17)

            Tokoh-tokoh kelompok moderat ini adalah Ahmad Amin, Muhammad Husain Haikal, Muhammad Imarah, Fazlur Rahman, Robert N. Bellah, dan Amin Rais (Ghazali,  2002:175; Kamil, 2013:31). Dalam tataran politik praktis, pemikir dari kalangan ini selalu mempertimbangkan aspek maslahat. Kebijaksanaan pemerintah harus senantiasa disesuaikan dengan ketentuan popular berbunyi ‘tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manuthun bil-mashlahah’ (kebijaksanaan kepala pemerintah terhadap rakyat harus bertujuan untuk kesejahteraan rakyat). Aliran ini menempatkan syariat sebagai tata nilai masyarakat dalam kehidupan bernegara (Isybah, 2013).

2.2.2 Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Dari sudut pandang agama, NKRI adalah sah, karena presiden Indoensia dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana prosedur pengangkatan Ali RA menjadi Khalifah. Selain itu, presiden dilantik oleh MPR, sebuah gabungan dua lembaga tinggi, DPR dan DPD yang dapat merepresentasikan ahlul halli wal’aqdi dalam konsep al-Mawardi di kitabnya al-Ahkam ash Shultaniyah, Keabsahan kedaulatan pemerintahan NKRI dapat dilihat pula dari terpenuhinya maqashid al-syar’iyah (tujuan-tujuan syar’i), yakni demi menjaga kesejahteraan dan kemashlahatan umum. Terkait dengan ini, al-Ghazali (1988:147)  dalam al-‘Iqtishad fil ‘Itiqad menyatakan, “dengan demikian tidak bisa dipungkiri kewajiban mengangkat seorang pemimpin (presiden), karena mempunyai manfaat dan menjauhkan mudlarat di dunia ini”

Empat pilar kebangsaan yang terdiri atas Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika, sebenarnya merupakan formulasi final umat Islam Indoensia dari segala upaya mendirikan negara dan membentuk pemerintaha. Pancasila sebagai ideologi negara Indoensia merupakan bentuk penafsiran dengan pengejawentahan nilai-nilai luhur ajaran Islam dalam berkeTuhanan dan berkemanusiaan. Pancasila yang menjadi ideologi NKRI adalah falsafah pemersatu dari keberagaman agama, budaya, suku, ras, dan kondisi geografis. Pancasila sebagai falsafah bangsa mengandung nilai-nilai tauhid, kemanusiaan, keadaban, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Kedudukannya identic dengan Piagam Madinah, sebagai wadah pemersatu kebhinnekaan bangsa. Manifesto esensial Khilafah Islamiyah dalam pandangan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, maslahah dan rahmatan lil ‘alamin (Azza, 2011).

Empat pilar kebangsaan tersebut selaras dengan prinsip-prinsip dasar politik Islam. Prinsip-prinsip dasar dalam politik Islam meliputi :

1. Prinsip Amanah

Amanah adalah segala yang dipercayakan orang, berupa perkataan, perbuatan, harta dan pengetahuan atau segala nikmat yang ada pada manusia yang berguna bagi dirinya dan orang lain (Jauhari,tt.54). Prinsip ini menghendaki agar pemerintah melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya, meliputi tanggung jawab manusia terhadap Allah, terhadap sesamanya, dan terhadap diri sendiri, karena setiap pemimpin akan dimintai pertanggung jawabannya. Rasullah SAW bersabda :

Artinya : “Setiap kalian adalah pemimpin & setiap kalian akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang penguasa adalah pemimpin & akan ditanya tentang kepemimpinannya. Seorang lelaki adalah pemimpin dalam keluarganya & akan ditanya tentang kepemimpinanya. Seorang wanita adalah penanggung jawab dalam rumah suaminya & akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Seorang pelayan adalah penanggung jawab dalam harta majikannya & akan ditanya tentang tanggung jawabnya.”

2. Prinsip Keadilan

Prinsip ini berkaitan dengan keadilan sosial bagi seluruh manusia tanpa pandang golongan dan jabatan. Masalah keadilan juga Allah tegaskan di dalam Al-Qur’an.

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi kerana Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu kerana ingin menyimpang darikebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjaan.” (QS. An-Nisa’ [4]: 135).

3. Prinsip Ketaatan

Prinsip ketaatan dimana pemimpin dalam melaksakan tugasnya hendaknya mengikuti hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran dan hadis. Allah berfirman:

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu” (Q.S. al-Nisa’ :59).

Ketaatan juga berarti ikut berpartisipasi dalam upaya mendudkung pemerintah dan melaksanakan serta mensosialisasikan ajaran agama Islam.

4. Prinsip Musyawarah

Prinsip Musyawarah diperlukan agar para pemimpin dan penyelenggara negara dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dan bertukar fikiran dengan siapa saja yang dianggap tepat guna mencapai yang terbaik untuk semua.

2.3 Institusi Khilafah Dalam Tradisi Politik Islam

Khilafah dalam bahasa Arab berarti penggantian. Kata ini mengingatkan orang pada Khalifah (خَليفة, pengganti, pengatur, wakil) yang ada dalam Q.S al- Baqarah:30:

 …….خَلِيفَةً الْأَرْضِ فِي جَاعِلٌ إِنِّي لِلْمَلَائِكَةِ رَبُّكَ قَالَ وَإِذْ

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".

            Khilafah merujuk pada sistem pemerintahan Islam pertama yang didirikan pasca wafatnya Rasulullah SAW. Pemimpin dalam sistem ini disebut khalifah. Terma khilafah bersinonim dengan imamah, dalam penggunaanya terma khilafah sering kali digunakan oleh mayoritas ahlussunnah sedangkan kalangan syiah lebih akrab menggunakan kata imamah untuk menunjukkan konsep mereka dalam kepemimpinan (Chalik, 2012).

                Para ulama dari semua kalangan, yakni ahli Tafsir, ahli Hadist, dan para ulama mazhab menyatakan, mengangkat seorang imam hukumnya memang wajib. Namun tidak ada dalil nash yang mewajibkan memakai sistem khilafah, karena keberadaan sistem khilafah adalah bentuk ijtihadiyyah (al-Ghazali, 2004: 200, al-Zuhaili, 2005: 6, 661-662).

Nabi Muhammad SAW menyerahkan persoalan mengenai siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat, kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Kemudian kaum Muhajirin dan Ansor bermusyawarah hingga akhirnya terpilihlah Abu Bakar As-Shidiq sebagai pengganti Rasulullah.

Dari segi proses, pemilihan Abu Bakar sebagai khalifah berdasarkan system baiat atau system demokrasi dengan berdasar al-amru syuro bainahum.  Penyelenggaraan pemerintahan pada masa Abu Bakar bersifat sentral; kekuasaan legislative, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan khalifaah (Yatim, 2008:36). Kebijakan politik Abu Bakar menunjuk Umar sebagai penggantinya dengan meminta pendapat para sahabat menunjukan bahwa asas musyawarah tetap menjadi prinsip utama dalam suksesi pergantian khalifah (Supriyadi, 2008:76).

Bagi mayoritas Sunni, pemilihan pemimpin selayaknya dilakukan melalui presedur syura (consensus) yang dilakukan oleh para wakil rakyat dalam satu Majlis Syura (lembaga legislatif). Pemilihan ini berpijak pada QS. Al-Syura:38 dan Ali Imran:159 yang menyandarkan pemilihan pada asas musyawarah.

شُورَى بَيْنَهُمْ ٰ وَأَمْرُهُمْ

“…sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka…”(Q.S. Asy-Syura:38).

Selanjutnya, khalifah Umar bin Khattab dipilih oleh sejumlah sahabat atas inisiatif Abu Bakar. Pada masa Umar, berlaku system baiat (system demokrasi) dalam hal memilih kepala Negara dengan tetap berpegang pada prinsip al-amru syura bainahum (musyawarah). Sedangkan pemilihan Ustman bin Affan dilakukan dengan system formatur (Ridwan, 2012:273). Setelah Ustman terbunuh, kaum Muhajirin dan kaum Anshar menginginkan Ali sebagai khalifah, tetapi Ali menolak dan menginginkan pengangkatannya sebagai khalifah dimusyawarahkan oleh para sahabat, akhirnya hasil musyawarah menyatakan Ali sebagai khalifah (Supriyadi, 2008:93-101).

Pada masa Dinasti Umayyah, lembaga khilafah menjadi system kerajaan yang otoriter. Ketika kekuasaan ada pada tangan Dinasti Abbasiyah konsepsi seputar khalifah bergeser menjadi wakil Tuhan dimuka bumi selanjutnya, munculah gerakan anti khalifah Abbasiyah dengan mendirikan kekuasaan ditingkat daerah. Mereka menggunakan istilah baru, yaitu amir. Kata amir pertama kali digunakan untuk merujuk pada pemimpin yang memiliki kapasitas militer yang tangguh, seperti yang ditunjukkan oleh Umar bin Khatab dengan gelarnya yang terkenal, Amirrul Mukminin. Pada periode terkemudian, sebutan amir ini kemudian bergeser menjadi gelar bagi pemimpin Negara Islam

Berdasarkan fakta historis diatas, tampak bahwa tidak ada aturan baku dalam pemilihan pemimpin dalam islam, kecuali aturan untuk musyawarah dan mufakat. Namun, prosedurnya selalu berubah sesuai dengan tuntutan zaman yang mengiringinya.

2.4 Cinta Tanah Air Menurut Islam

            Cinta tanah air merupakan tabiat alami manusia (fitrah). Karena di tanah air itulah manusia dilahirkan dan dibesarkan, dididik dan disayang. Cinta tanah air menimbulkan nasionalisme, yaitu kesadaran dan semangat cinta tanah air; memiliki kebanggaan sebagai bangsa, atau memelihara kehormatan bangs; memiliki rasa solidaritas terhadap musibah dan kekurangberuntungan saudara setanah air; serta menjunjung persatuan dan kesatuan

            Islam memandang bahwa mencintai tanah air adalah suatu tindakan yang baik. Diantara bukti ajaran Islam tentang cinta tanah air adalah sikap Rasulullah SAW terhadap tanah kelahirannya. Ketika akan berhijrah ke madinah dan meninggalkan kota kelahirannya, makkah, Dari Abdullah bin Abbas RA  Rasulullah SAW bersabda:

“Sungguh engkau adalah bumi allah yang paling baik, alangkah besarnya cintaku padamu (kota Makkah), kalaulah bukan karena penduduknya mengusirku darimu, maka pasti aku tidak akan pernah meninggalkanmu” (HR. Tirmidzi).

            Sesampainya di Madinah, beliau berdoa agar diberikan rasa cinta pula terhadap Madinah:

“Ya Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami, sebagai mana engkau mencintakkan kota Makkah kepada kami, bahkan lebih” (HR. Bukhari, Malik dan Ahmad).

            Pernyataan d iatas merupakan sebuah perwujudan dari rasa cinta Rasulullah SAW terhadap tanah airnya. Negeri bagaikan rumah yang telah memberikan yang terbaik kepada penguninya. Karena itu, sudah selayaknya bila manusia memakmurkan bumi. Kecintaan Rasulullah pada tanah air (Kota Makkah) diwujudkan dalam bentuk islah atau perbaikan dalam seluruh tatanan kehidupan yang diawali dengan perbaikan akidah. Cinta tanah air tidak hanya dilakukan oleh Rasulullah, tetapi juga dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS. Islam mengajarkan umatnya untuk mengikuti jejak (Millah) Nabi Ibrahim (QS. An-Nahl:123;Ali Imran;95).

            Kecintaan pada tanah air juga ditunjukan oleh para ulama’ yang menjadi mujahid dalam mengusir penjajah. Menjadi perhatian Islam terhadap bela Negara tampak pula pada ayat yang menggandengkan pembelaan Agama dan pembelaan negara (QS. Al-Mumtahanah:8-9).

            Ajaran untuk cinta tanah air sesuai dengan isi pesan dalam 4 pilar kebangsaan, yaitu pancasila, UUD 1945 NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Negara Indonesia adalah Negara kesatuan. Kesatuan kepulauan nusantara yang ingin diwujudkan adalah kesatuan politik,ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. 4 kesatuan inilah yang disebut dengan wawasan nusantara yang kemudian dijadikan tujuan pembangunan bangsa. Pancasila berfungsi sebagai dasarnya yang menjadi sandaran bagi 3 pilar yang lain. Islam mengajarkan umatnya untuk mencintai tanah air. Ajaran ini merupakan salah satu wujud penerapan 4 pilar kebangsaan. Sikap cinta tanah air perlu dipupuk dan ditanamkan dalam hati dengan harapan tanah air Indonesia akan terus menjadi negeri yang aman dan damai.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan         

              Politik Islam adalah pengaturan urusan pemerintahan kaum muslimin secara menyeluruh dengan cara mewujudkan kemaslahatan, mencegah terjadinya kerusakan aturan-aturan yang ditetapkan Islam dan prinsip-prinsip umum syariat. Pandangan umat Islam dalam melihat relasi Islam dan negara dibagi menjadi tiga, yaitu tipologi teo-demokrasi, tipologi sekuler, dan tipologi moderat. Adapun NKRI dalam pandangan islam dipandang sebagai negara yang sah karena telah bersesuaian dengan ajaran Nabi Muhammad SAW dan sebagaimana prosedur di masa khalifah. Politik dalam Islam memiliki prinsip-prinsip meliputi, prinsip amanah, prinsip keadilan, prinsip ketaatan, dan prinsip musyawarah.

              Tradisi politik dalam Islam sendiri diajarkan bahwa sistem poltiknya dinamakan Khilafah. Khilafah sendiri adalah sistem pemerintahan Islam pertama yang didirikan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pemimpin dari Khilafah itu dinamakan Khalifah. Namun saat ini penerapan Khilafah tidak begitu terlihat, karena bersifat lintas negara. Adapun yang saat ini masih ada adalah sistem pemilihan khilafahnya, yaitu melalui pemilihan yang dipilih langsung oleh rakyat dan didasarkan pada musyawarah mufakat terlebih dahulu. Islam juga mengajarkan kepada umatnya untuk mencintai tanah airnya, sebab tanah air adalah tempat dimana manusia tersebut dilahirkan dan dibesarkan, dididik dan disayang. Islam memandang bahwa mencintai tanah air adalah suatu tindakan yang baik. Bahkan Rasulullah sendiri menujukkan sikap mencintai tanah kelahirannya.

3.2 Saran       

1        Sangat disarankan bagi mahasiswa untuk memahami tentang bagaimana politik itu berjalan sesuai dengan perspektif Islam agar tidak salah konsep terhadap beragam perspektif yang muncul dikalangan masyarakat umum.

2        Mencintai tanah air adalah hal yang harus kita tanamkan dalam diri sedari kecil agar tidak mudah tergoyahkan oleh bermacam macam gangguan atau konflik perpecahan yang dapat memecah NKRI

DAFTAR RUJUKAN

 

UM, Tim Dosen PAI. Pendidikan Islam Transformatif Membentuk Pribadi Berkarakter. Malang, 2013

Muslim Suara . (2018, 23 Januari) . Politik dalam Pandangan Islam (online). https://suaramuslim.net/politik-dalam-pandangan-islam/ , Diakses 8 Agustus 2019

Islam Risalah . (2013) . Pengertian Islam Menurut Bahasa, Istilah, dan Al-Quran (online) . https://www.risalahislam.com/2013/11/pengertian-islam-menurut-al-quran.html , Diakses 8 Agustus 2019